IMAM AL-GHAZALI ”KEMASLAHATAN UMMAT” DAN PASCA PEMILU



Pemilu telah selasai dilaksanakan, rekapitulasi penghitungan suara masih berjalan, sementara klaim kemenangan telah berangsur-angsur ditabuhkan. Namun terlepas dari itu semua, secara umum pelaksanaan pemilu akan bermuara kepada satu tujuan yaitu peningkatan kemaslahatan ummat.
Dalam masalah kemaslahatan ini, hujjatul islam imam al-Ghazali dengan sangat mengesankan telah merumuskan konsep kemaslahatan ummat ini dalam bukunya yang sangat terkenal al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Kemaslahatan, menurutnya, adalah mewujudkan lima prinsip pokok kehidupan manusia baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Lima hal pokok tersebut adalah: [1] hifdh al-din (keselamatan keyakinan agama), [2] hifdh al-nafs (keselamatan fisik warga masyarakat), [3] hifdh al-’aql (keselamatan kebebasan berfikir dan berekspresi), [4] hifdh al-nasl (keselamatan keluarga dan keturunan), dan [5] hifdh al-mal (keselamatan harta benda dan milik pribadi). Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip itu adalah kemaslahatan. Setiap hal yang menegasikan lima prinsip itu adalah kerusakan (mafsadah). Menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan. (al-Ghazali, tt: 98)

1.   Hifdh Al-Din (keselamatan keyakinan agama)
Hampir semua ulama fiqh menetapkan hifdh al-din (pemeliharaan keyakinan agama) pada urutan pertama. Prinsip ini memberikan penegasan bahwa keselamatan keyakinan agama adalah hak asasi setiap orang, tidak ada paksaan untuk berpindah atau masuk pada suatu agama tertentu, dan negara wajib memberikan jaminan atas keselamatan ini. Hifdh al-din dapat diartikan juga dengan hak bebas beragama. Sebab pemaksaan terhadap seseorang untuk masuk dalam satu agama tanpa diikuti dengan sebuah keyakinan yang mantap, maka keberagamaan mereka adalah palsu dan pura-pura. Memeluk suatu agama sejatinya harus diikuti dengan keyakinan yang mendalam terhadap sejumlah ajaran yang dibawa oleh agama itu. Hal itu setali tiga uang dengan pemaksaan untuk keluar dari agama tertentu pula. Sekiranya terjadi perpindahan agama, maka perpindahan tersebut hanya semu belaka, karena hati dan komitmen yang bersangkutan masih berada dalam agama sebelumnya. 
Oleh karena itu, hak untuk memilih suatu agama atau keluar dari suatu agama merupakan hak asasi pada diri setiap orang. Ketika agama dipandang tidak lagi sejalan dan efektif di dalam melakukan kerja-kerja sosial dan spiritual kemudian ia berpindah ke agama lain, maka itu adalah hak asasi manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat al-Kahfiy [18] ayat (29), “fa man sya`a falyu’min, wa man sya`a falyakfur”. [barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah dia beriman; dan barangsiapa yang ingin kufr, maka biarkan saja ia kufr]. Artinya, pilihan iman atau kufr terhadap suatu agama sepenuhnya merupakan tindakan dan pilihan individual. Namun, sayang sekali dalam perkembangan kemudian, hak perlindungan atas agama ini justru diterjemahkan dalam suatu mekanisme hukum yang bertentangan dengan prinsip tersebut, yaitu hukuman keras bagi seorang Muslim yang pindah agama (murtad). Sebuah hadits ahad yang memiliki hirarki kehujahan lemah pun kerap dikutip; man baddala dinahu faqtuluhu (barangsiapa yang mengganti agama, maka bunuhlah). Karena teks ini tergolong sebagai hadits ahad, maka ia tidak bisa dijadikan sebagai pijakan hukum. Bukan hanya itu, hadits ini juga bertentangan dengan semangat dasar dari al-Kahfiy ayat 29 yang menjelaskan tentang kebebasan memilih antara yang baik dan yang jelek walaupun semuanya ada imbalan dan resiko yang harus dipertangung jawabkannya, " maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.
Pemimpin di Indonesia haruslah menjaga agama ini sebagai payung tegaknya pancasila terutama sila 1 : ketuhanan Yang maha Esa dan Indonesia tidak mengenal Ateisme.

2.   Hifdh al-nafs (keselamatan fisik warga masyarakat).
Hifdh al-nafs bisa juga disebut sebagai hak hidup (hifdh al-hayat). Kita tahu bahwa hak hidup adalah hak yang paling asasi dan fundamental yang dimiliki oleh manusia semenjak ditiupkan roh ketika masih dalam rahim ibu. Perlindungan terhadap jiwa merupakan hak yang tidak bisa ditawar. Kehidupan bagi manusia bukan hanya kehendak manusia, tetapi juga kehendak Allah Swt. Manusia hidup bukan atas kehendaknya, tetapi atas kehendak Allah. Oleh karena itu, semua pihak harus menjamin dan melindungi hak hidup ini. Segala usaha yang bertujuan atau berakibat membinasakan manusia dan merusak kehidupannya selain bertentangan dengan logika akal sehat dan kemanusiaan juga bertentangan dengan logika ketuhanan. 
Sejak awal Islam telah menyatakan pandangannya bahwa tak seorang pun boleh ditumpahkan darahnya, dilenyapkan jiwanya, dan diinjak-injak harga dirinya. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan jiwanya. Tegas disebutkan dalam al-Qur’an bahwa membunuh satu jiwa hakekatnya adalah membunuh seluruh manusia. Allah SWT berfiman dalam Surat al-Ma`idah ayat 32, man qatala nafsan bi ghairi nafsin aw fasadin fiy al-ardli fa ka’annama qatala al-nas jami’an, wa man ahyaha fa ka’annama ahya al-nas jami’an (barangsiapa membunuh satu jiwa bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena ia melakukan kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia; dan barangsiapa yang memelihara kehidupan satu orang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya). 
Kedua ayat al-Qur’an ini menunjukkan bahwa satu nyawa manusia sangat mahal sehingga bagi yang melenyapkannya sama dengan melenyapkan seluruh manusia. Sebaliknya, bagi yang menyelamatkan satu nyawa manusia sama dengan menyelamatkan seluruh manusia.

3.   Hifdh al-’aql (keselamatan kebebasan berfikir dan berekspresi).
Dalam fikih Islam klasik, hifdh al-‘aql diterjemahkan dalam bentuk yang sederhana, yaitu berupa larangan untuk meminum minuman yang memabukkan karena dapat mengganggu kerja akal manusia. Namun dalam perkembangan sekarang, hifdh al-‘aql telah dielaborasi lebih jauh berupa hak kebebasan untuk berfikir, berkumpul, dan berserikat. Dalam konteks negara-bangsa, hak untuk terlibat di dalam proses pengambilan keputusan publik merupakan bagian dari hifdh al-‘aql. Termasuk dalam bingkai hak tersebut adalah hak untuk mendapat informasi yang benar dan akurat, dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Segala upaya yang dimungkinkan dapat merusak kelangsungan hifdh al-‘aql ini tentu saja dapat dibatalkan atau batal demi logika akal sehat dan kemerdekaan manusia.

4.   Hifdh al-nasl (keselamatan keluarga dan keturunan).
Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan (hifdh al-nasl) dan hak untuk mempertahankan nama baik (hifdh al-‘irdh). Hifdz al-‘irdh berarti seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain secara baik dan terhormat. Mencemarkan nama baik orang lain dipandang melanggar kehormatan dan hak orang lain. Dalam fikih Islam, hifdh al-nasl dan hifdh al-‘irdh dibakukan dengan adanya ancaman keras bagi pelaku perzinaan. Karena perzinaan bukan hanya dianggap melanggar hak anak untuk mendapatkan asal-usul orang tua yang jelas dan legal, melainkan juga dapat mencoreng nama baik (‘irdh) keluarga si pezina tersebut. Akan tetapi, dalam kacamata fikih Islam, membuktikan tindak perzinaan bukanlah perkara mudah. Penuduh zina dituntut untuk menghadirkan empat orang saksi yang betul-betul melihat secara persis persetubuhan-perzinaan itu.

5.   Hifdh al-mal (keselamatan harta benda dan milik pribadi).
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak atas kekayaan dan hak untuk mendapatkan kesempatan memperoleh kekayaan dengan cara yang legal. Dalam fikih Islam klasik, perlindungan terhadap harta ini dieksplisitkan dengan adanya pelarangan untuk mencuri harta orang lain (sariqah) dan menggunakan milik orang lain tanpa ijin (ghashab). Artinya, harta seseorang tidak boleh dirampas tanpa hak. Kalau dielaborasi lebih jauh, hifdh al-amwal ini dapat diterjemahkan dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang layak atas pekerjaannya itu dan hak bebas dari penggusuran.
Kita berdoa semoga para pemimpin indonesia yang terpilih selalu mengedapankan 5 hal [1] hifdh al-din [2] hifdh al-nafs [3] hifdh al-’aql [4] hifdh al-nasl dan [5] hifdh al-mal sebagai landasan menciptakan ”Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghafur”.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP PAI VI A TAHUN AKADEMIK 2018/2019

PUASA DAN KEPEDULIAN SOSIAL DI ERA PANDEMI COVID 19 (Edisi Ketiga, 03 Romadhon 1441 H)

RITUAL QURBAN: Dari Theosentris Menuju Antroposentris (Bagian Kedua)