MEREFLEKSIKAN KEMBALI SEJARAH ISRO’ MI’ROJ NABI MUHAMMAD SAW (Mendamaikan Kaum Minoritas Dan Mayoritas Dalam Islam Rahmatan Lil Almin)
”Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambanya (Muhammad)
pada malam hari dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa
yang kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan
kepadanya
sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami,
sesungguhnya Dia Maha Mendengar
, Maha Melihat. (Q.S. Al-Isra’: 1)
Tulisan ini hanya bermaksud mengambil ibroh
kejadian masa lampau untuk bisa kita manifestasikan dalam kehidupan sekarang.
Dalam hitungan jari, Indonesia akan melaksanakan pemilu serentak tepatnya pada
hari Rabu tanggal 17 April 2019 yang besar kemungkinan dan bahkan berpeluang
terjadinya perbedaan pendapat dan pilihan antara individu atau kelompok yan
satu dengan yang lainnya.
Peristiwa
Isra Mi’raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. makna Isra’ secara
terminologi adalah berjalan di waktu malam (Travel by Night, to Depart by
night). Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW
“diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu
dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha
yang merupakan tempat tertinggi disisi Allah. Di sini Beliau mendapat perintah
langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu.
Bagi umat
Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika
inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat
perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa
ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW berbahagia
dan perasaan sedih yang melingkupinya. Sebagai
umat islam, tentunya peristiwa ini adalah kenangan yang begitu berharga karena
dari sekian manusia dari terciptanya manusia pertama yaitu masa “nabi adam”
sampai manusia akhir zaman, hanyalah Nabi Muhammad SAW yang bisa melakukan
ritual ini. Subhanallah.
Kini, saatnya kita bersimpuh dihadapan
Allah dan berintropeksi diri, apalagi beberapa bulan lagi kita akan memasuki
bulan romadhon, sementara kita masih menghadapi begitu banyak persoalan hidup,
dengan berbagai kejadian serta pengalaman yang menyedihkan, seakan-akan kita
sedang berdiri di tepian jurang, pada malam gelap gulita. Bangsa, negara dan
agama, tengah menuai akibat dari kelakuan manusia-manusia tidak bermoral, egois
dan seakan-akan kenyakinanyalah yang paling benar dan kenyakinan orang lain
salah sehingga mereka menginjak-injak kelompok minoritas karena dirinya berada
pada kelompok mayoritas.
Disatu sisi, kualitas seseorang
bukan ditentukan oleh jumlah mayoritas penduduknya, bukan pula oleh kondisi
golongan minoritasnya. Diakui atau tidak, di indonesia penganut agama islam
bersifat mayoritas dan penganut agama lainnya minoritas. Agama islam sendiri,
pengikut paham NU (Nahdlatul Ulama’) merupakan pengikut terbanyak dan paham
lainnya lebih sedikit darinya. Namun, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
tidak hanya menjadi pedoman bagi orang islam atau bahkan hanya tuntunan bagi
orang NU saja, justru islam sebagai agama yang besar di indonesia mengayomi
kepada semua unsur dan lapisan masyarakat dalam berbangsa, bernegara dan
beragama.
Sedangkan disisi yang lain, banyak
di antara tokoh Islam yang lihai berbicara tentang ajaran Islam dan mempesona
pendengarnya, seolah-olah dia pembela Islam. Mereka meyakinkan masyarakat
tentang ketulusan dan kebaikannya, padahal hatinya penuh dengan kedengkian, dan
tanpa didasari menentang Islam. Mereka merajut dusta, sehingga berbeda omongan
dan fakta. Padahal mereka punya kesempatan dan otoritas di masyarakat untuk
meninggikan Islam, tapi tidak dilakukan. Bahkan mereka menjadi pengawal
kehancuran islam dengan memporak porandakan ukhuwah islamiyah dengan alasan
paham lain tidak sesuai dengan keyakinan yang mereka ikuti.
Sebenarnya Allah SWT telah berfirman
dalam QS. Al-Baqarah: 204-205: “Wahai Muhammad, ada orang-orang yang jika
berbicara tentang kehidupan dunia ini mempesona kamu. Orang itu bersumpah
dengan nama Allah bahwa dia mencintai Islam, padahal sebenarnya dia sangat
keras mengingkari kebenaran Islam. Wahai Muhammad, apabila orang itu berpisah
dari kamu, dia melakukan perbuatan-perbuatan dosa, merusak pertanian dan
peternakan. Allah tidak menyukai perbuatan-perbuatan dosa semacam itu.”
[Al-Baqarah, 2: 204-205]
Dalam kondisi seperti ini perlu
kiranya kita mengambil ibroh dari sejarah isro’ mi’roj Nabi Muhammad SAW.
Pertama, Ritual ini berawal dari masjid dan berakhir di masjid,
yaitu dilaksanakan dari Masjidil
Haram mekkah ke Masjidil Aqsa di palestina. Secara filosofi masjid adalah
tempat ibadah yang hanya orang suci bisa berada didalamnya. Hal ini menunjukkan
bahwa keberangkatan Nabi untuk melaksanakan Isro’ Mi’roj ini berada dalam
kondisi suci untuk bertemu dengan kholiqnya “ Allah SWT”. Sehingga ketika suatu
perbuatan diawali dengan niatan yang suci maka hasilnya akan berdampak baik.
Kedua, dalam rihlahnya baginda Nabi Muhammad SAW banyak melakukan
komunikasi dengan para Nabi sebelumnya, di sana dijumpainya Nabi Adam. Perjalanan diteruskan
ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan
Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke
empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di
langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh.
Ketiga, Isra’ mi’raj
mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna penting Isra’ mi’raj bagi
umat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah shalat wajib lima waktu.
Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat
mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat
maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau
haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Isra’ dan
mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk
aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa
diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah.
Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau
ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Tuntutan ibadah
mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi
telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat.
Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan
posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah
kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi
direpotkan harus melihat langsung fenomena cahaya matahari atau bayangannya
setiap akan shalat. Kini semua umat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara
umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.
Apa yang bisa kita petik dari
sejarah Isro’ dan Mi’roj untuk mendamaikan kelompok mayoritas dan minoritas? Pertama,
dalam QS. Al-hujarat: 13 disebutkan bahwa:” Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”. Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa keistimewaan
seseorang dihadapan Allah SWT adalah orang yang paling taqwa dan tentunya
senantiasa dekat dengan masjid sebagai tempat ia beribadah, bukan ditentukan
oleh mayoritas dan minoritasnya suatu kelompok. Apalagi mengkultuskan dirinya
yang benar sementara yang lain salah. Orang NU sebagai kelompok mayoritas,
harus lebih mengedepankan kegiatan-kegiatan keislaman yang terkadang
dilaksanakan dimasjid atau tempat lainnya, sehingga masyarakat NU bisa
dijadikan sebagai motivator dan objek percontohan bagi ummat lainnya, ia
senantiasa terdepan dalam mengentaskan kemiskinan, memerangi kebodohan, menjadi
benteng pertahanan dan kokohnya NKRI sebagaimana ulama’-ulama’ NU sebelumnya.
Kedua, Masyarakat islam adalah masyarakat yang kompleks dan multi
problematika ummat. Namun problematika itu bukan untuk diperdebatkan atau
bahkan saling menjatuhkan sehingga terjadilah percerai beraian diantara umat
islam. Namun dari problematika itu dibutuhkanlah komunikasi dan musyawarah
diantara sesamanya, baik dilakukan secara perorangan atau kelompok serta tidak
lupa konsultasi dengan sesepuhnya “ Kiai Khos” untuk mencarikan solusi
daripada problematika ummatnya, sebagaimana Rasulullah minta pendapat dan
mengambil ibroh dari para Nabi sebelumnya.
Ketiga, ibadah sholat yang merupakan amanah langsung dari Allah
SWT ketika Isro’ Mi’roj bukan dijadikan sebagai ritual semata, tapi jadikanlah
sholat sebagai sarana untuk memperbaiki ummat. Dalam al-Qur’an banyak sekali
fungsi dan makna sholat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dalam QS.
Al-Ankabut:45 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al
Qur'an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Makna sholat dari ayat ini sangatlah berpengaruh terhadap prilaku
kehidupan masyarakat. Dari sholat seseorang bisa menjadi bijak, dari sholat
masyarakat bisa beradap dan dari sholat ummat islam mempunyai martabat.
Dari ketiga hal inilah, umat islam akan kembali bersatu demi
menjaga ukhuwah islamiyah diantara sesama.{Falyataamal}

Komentar
Posting Komentar