Bagian Pertama
CATATAN PEMBUKA: NALAR KRITIK BATHSUL MASA’IL NU

Dalam tradisi islam, fiqh[1] memiliki peran sentral sebagai instrumen hukum untuk mengatur kehidupan seseorang dalam masyarakat muslim. Mereka memerlukan perangkat hukum yang karakternya sudah tidak lagi murni tekstual normatif (Al-Qur’an Atau Al-Hadits), akan tetapi sudah terstruktur menjadi sebuah pranata hukum aplikatif manusia (fiqh).
Dengan demikian, maka fiqh dikodifikasikan untuk mengelola secara operasional keseluruhan aktifitas manusia, mulai dari persoalan ritual keagamaan, sampai masalah-masalah profan, baik yang berkaitan dengan politik, sosial, ekonomi maupun budaya atau yang lebih dekat dikenal dengan hablum min allah wa hablum min an-nas (hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan manusia yang satu dengan manusia lainnya).
Pada tahapan awal perkembangan fiqh, secara garis besar berasal dari fatwa-fatwa ulama’ besar yang sekaligus menjadi panutan umat, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya sekitar masalah-masalah praktis dalam ibadah, muamalah, akhwal al-syahsiyah / munakahat dan jinayat yang semuanya belum tersusun secara sistematis, dan penyusunannya baru berlangsung kemudian setelah adanya pengkodifikasian pada masa Dinasty Abbasiyah pada periode ke 2 dan 3 Hijriyah yang dikenal dengan “‘Ashru At-Tadwin”. [2] Masalah tersebut dapat diamati pada kitab-kitab karya masing-masing imam madzhab yang empat, diantaranya kitab Imam Abu Hanifah (Nu’man Bin Tsabit, 80 – 150 H) yang berjudul Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Mudawwanah Al-Kubro dan Al-Muwattho oleh Imam Malik Bin Anas ( 93 – 179 H),  kitab-kitab Al-Um karya Imam Asy-Syafi’i (150 - 204 H) dan hasil ijtihadnya Imam Ahmad Bin Hambal (164 – 241H) yaitu Al-Masail.[3]
Meskipun fiqih merupakan “Produk Rasional[4] namun fiqh dalam islam tidak semata-mata dari hasil kekuatan penalaran (laisa nitaj al-aqli al-bahti) dan tidak pula sekedar kreativitas nalar murni (wa la huma ibda’ al-fikr al-mahd), akan tetapi selalu menjaga komitmennya dengan sumber-sumbernya yang pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena keduanya ini merupakan referensi utama bagi masing-masing imam madzhab yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana mereka berada.[5]
Madzhab hanafi atau hanafiyah yang didirikan oleh Nu’man Bin Tsabit yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.[6] Pemikiran hukumnya cenderung menggunakan ijtihad bercorak rasional, karena ia hidup di Irak / kufah yang jauh dari Madinah sebagai pusat lahirnya hadits. Hidup kemasyarakatan disana telah mencapai kemajuan yang tinggi, sehingga persoalan yang muncul banyak dipecahkan melalui pendapat (ar-ra’yu), analogi (qiyas) dan istihsan (qiyas khofi). Begitu juga karena latar belakangnya sebagai ahli ilmu kalam dan logika.[7]
Madzhab Maliki atau malikiyah yang didirikan oleh Imam Malik Bin Anas yang kehidupannya tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali keperluan ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang cendrung tekstual dan banyak menggunakan trasdisi (amalan-amalan) warga madinah serta maslahah al-mursalah (kepentingan umum). Beliau juga dikenal sebagai ahli mufti dalam kasus-kasus yang dihadapi.
Madzhab Syafi’i  atau syafi’iyah yang didirikan oleh Abdullah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i. Hidupnya dilalui di Baghdad, Madinah dan terakhir di Mesir, oleh karena itu corak pemikirannya konvergensi atau pertemuan antara corak tradisionalis  dan rasionalis. Selain berpegang teguh pada al-qur’an, al-hadits dan ijma’, beliau berpegang pada  qiyas yang banyak menggunakan ijtihad dalam hukumnya.
Madzhab Hambali atau hanabilah, didirikan oleh Ahmad Bin Muhammad Bin Hanbal dan lebih mashur Imam Hanbali. Ia berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi’i, sehingga corak pemikirannya tradisionalis (fundamentalis). Selain berdasar kepada al-quran, sunnah dan pendapat shohabat, ia juga menggunakan hadits mursal dan dalam kondisi terpaksa menggunakan metode qiyas.[8]
Indonesia, merupakan salah satu negara yang situasi dan kondisinya sesuai dengan pemikiran salah satu imam yang empat, yaitu Imam Syafi’i, yang secara mayoritas menganut pendapatnya, karena berawal dari kehadiran Islam di Asia Tenggara berkat interaksi mereka dengan pendatang ---sebagai pedagang maupun  sebagai  pendakwah--- dari Yaman dan Hijaz.[9] Akan tetapi terlalu sedikit yang secara teologis terikat dengan imam panutannya, kecuali sekedar terikat secara emosional.  Kebanyakan mereka melakukan upacara ritual keagamaan hanya lantaran ikut-ikutan tanpa pengetahuan mendalam. Mereka tidak tahu siapa Imam Syafi’i, dan apa mazhab Syafi’i atau Syafi’iyah itu.
Kepengikutan terhadap mazhab Imam Syafi’i inilah yang tetap dipertahankan oleh kaum nahdhiyyin. Sehingga tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdhatul Ulama (NU). Di dalam Anggaran Dasar tersebut dinyatakan bahwa: landasan atau dasar Nahdhatul Ulama (NU) disebutkan dalam BAB II Pasal 3 sebagai berikut:
“Nahdhatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah islam menurut faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali)[10] dan Mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad telah ditutup, sedangkan yang diperbolehkan adalah ijtihad dalam madzhab atau intern madzhab Syafi.i, seperti Imam Nawawi dan Imam Rofi’i, Oleh karena itu, perkembangan fiqih di kalangan nahdhiyyin  tidak  akan  keluar dari koridor madzhab Syafi.i.
Dengan berubahnya kondisi di indonesia dan seringnya muncul permasalahan-permasalahan kontemporer (al-masail al-mu’asyiroh) baik yang berkaitan erat dengan ibadah, interaksi sosial di masyarakat, persoalan pernikahan dan tindak kriminal serta hukuman yang harus diberikannya, menuntut kepada warga nahdhiyyin untuk ikut serta dalam mencari solusi bagaimana permasalahan itu bisa dipecahkan dengan berdasarkan kepada ajaran-ajaran islam.
Untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer tersebut, mereka seringkali  mengadakan  apa  yang  mereka sebut “Bahtsul Masa’il.[11] Kegiatan ini merupakan pertemuan Kyai NU dari berbagai daerah untuk membahas masalah-masalah baru dan yang menjadi bahan referensi mereka adalah kitab-kitab fiqh klasik (Kitab Kuning).[12] Pertemuan diadakan dalam skala regional ataupun  nasional,  tergantung besaran  isu  yang  dijadikan  subyek  pembahasan.  Kyai  atau  pemimpin  pesantren dalam tradisi mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali.  Kaum  awam, santri dan masyarakat biasa akan mengikuti secara patuh apa yang  difatwakan,  karena merekalah yang dapat bersentuhan langsung dengan kitab-kitab rujukan yang nota bene kesemuanya “Berbahasa  Arab”.
Menarik bahwa para Kyai NU sangat fanatik dengan kitab berbahasa Arab.  Mereka bersikap sinis dan curiga terhadap buku-buku berbahasa Indonesia, baik karya langsung maupun terjemahan dari bahasa Arab. Dalam pandangan mereka, buku-buku agama berbahasa Indonesia tidak orisinil dan muatan ilmiahnya tidak dapat dipertanggung jawabkan, dikarenakan buku atau terjemahan tersebut berasal dari kelompok non pesantren atau bahkan berasal dari Perguruan Tinggi luar negeri dan lain sebagainya, dengan argumen bahwa pelajaran bahasa Arab seperti Nahwu dan Shorrof hanya diajarkan di pesantren-pesantren NU dan bahkan menjadi prioritas utama dalam kurikulumnya. Seseorang bagaimanapun pandainya tentang ilmu agama,  tidak  akan berfungsi apapun bagi mereka selagi tidak menguasai Bahasa Arab atau tidak bisa membaca kitab-kitab kuning.
Santri dan masyarakat biasa bertaqlid kepada para kyai. Apa yang dikatakan kyai yang berkenaan dengan agama adalah benar belaka.  Mereka  tidak  berani bertanya soal dasar dan dalil pendapatnya. Demikian pula para kyai sendiri dalam memahami masalah fiqih bertaqlid pada Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah,[13] atau kepada imam dan ulama’ yang lain, karena mereka mujtahid. Merujuk langsung pada Al-Quran dan Al-Sunah tidak umum di kalangan mereka.
Di era globalisasi sekarang, penulis melihat kecendrungan pemikir-pemikir kontemporer, di satu sisi mereka telah banyak bergelut dengan ilmu-lmu agama, mempelajari metodologi Ushul Al-Fiqh, Qawaid Al-Fiqh dan Ilmu Gramatika Arab lainnya seperti Nahwu dan Shorrof,  dan di sisi yang lain mereka juga belajar Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi yang sudah pasti membaca pemikiran-pemikiran barat, yang nantinya mereka akan melakukan sebuah usaha reformasi internal menuju formulasi hukum yang lebih islami dan memenuhi kebutuhan zaman, sehingga mereka beranggapan bahwa timbulnya suatu hukum Islam itu tidak diturunkan di ruang yang hampa akan tetapi berawal dari suatu realitas sosial yang terjadi di arab, lalu kemudian mendapat jawaban langsung dari Syari’.[14]
Argumentasi ini juga mengatakan bahwa produk hukum yang telah dihasilkan oleh para mujtahid sebelumnya tidak terlepas dengan situasi dan kondisi dimana meraka berada dan sudah pasti menggunakan metodologi tertentu sehingga produk hukum mereka itu belum tentu bisa diaktualisasikan ke zaman sekarang yang sudah mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda saat ini.
Melihat kenyataan diatas, tampaknya menjadi urgen dalam mengkaji dan meneliti proses istimbat al-ahkam dalam bahtsul masa’il yang telah menjadi program rutinitas dan sebuah hal kewajiban untuk menjawab persoalan-persoalan masa kini dan tentunya belum diketahui status hukumnya baik dalam Al-Qur’an ataupun Al-Hadits.
Oleh sebab itu, penulis mencoba meneliti dan sekaligus menelaah tentang istimbat hukum dalam bahtsul masa’il yang dikaitkan dengan konsep ijtihad sebagai Kajian Metodologi Masail Fiqh dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berkaitan dengan masalah  ibadah, interaksi sosial, perkawinan dan hukuman tindak pidana dengan berdasarkan kepada hadits Mu’adz Bin Jabal[15] ketika ia diutus Rasulullah SAW ke yaman sebagai hakim di sana. Nabi Muhammad SAW bersabda:
                                     
عن معاذ بن جبل ا ن النبى صلى الله عليه وسلم لما بعثه الى اليمن,قال: بم تقضى اذا عرض لك قضاء؟ بم فى كتاب الله. قال: فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال: اقضى بما قضى به رسول الله. قال:  فان لم تجد فيه؟ قال: اجتحد براى ولا الو. قال: الحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله.(رواه سنن الدارمى,رقم 8 16 )                
Artinya: “Diriwayatkan dari Muadz Bin Jabal RA bahwa pada saat Rasulullah SAW mengutusnya ke negeri yaman, Nabi bersabda: wahai Muadz, dengan apa kamu memutuskan perkara? Muadz menjawab: dengan sesuatu yang terdapat  di dalam kitab Allah SWT (Al-Qur’an), Nabi bertanya: kalau kamu tidak mendapatkannya dari kitab Allah SWT? Muadz menjawab: saya akan memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW. Nabi bertanya lagi: kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW? Muadz menjawab:” saya akan berijtihad dengan fikiran saya dan tidak bertindak sewenang-wenang, Nabi bersabda: segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi taufiq kepada utusan dari rasulnya dengan apa yang telah diridhoi Rasulullah SAW”.[16]

Penulis sengaja mengangkat tema ini, karena ada anggapan bahwa di dalam istimbat hukum islam semaksimal mungkin mengacu kepada kitab-kitab klasik yang merupakan hasil karya imam-imam sebelumnya dan jarang sekali atau bahkan tidak diperkenankan melakukan eksplorasi pemikiran dengan berlandaskan ijtihad dalil-dalil Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’ dan qiyas manakala tanpa menyodorkan referensi klasik tersebut, dengan satu dalil yang mereka buat sendiri (القول بلا تعبيرمردود  ) Artinya: Suatu pendapat akan ditolak manakala tidak ada referensi klasiknya.
Hal ini bertolak belakang dengan fungsi yang diemban oleh pondok pesantren yang diantaranya: Pertama, Sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (centre of excellence). Kedua, Sebagai lembaga yang mencetak Sumber Daya Manusia (human resource) dan Ketiga, Sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agen of development), begitu juga pesantren  dipahami sebagai bagian yang terlibat langsung dalam proses perubahan sosial (sosial change) di tengah perubahan yang terjadi di indonesia, sehingga keterlibatannya alumni pondok pesantren mempunyai peranan penting  dan kunci sebagai motivator, inovator dan dinamisator masyarakat di sekitarnya.[17]
Pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga lembaga tradisi keislaman dan keindonesiaan sekaligus. Islam dan Indonesia tetap terpelihara di pondok pesantren.
Inilah sekilas dari fenomena yang hendak dioptimalkan oleh kaum pembaharu dan nantinya juga merupakan suatu pembahasan dalam buku ini yang berjudul “ kritik wacana metodologi bathsul masa’il NU / Bathsul masa’il: sarana menuju pintu ijtihad”, semoga bermanfaat.






Catatan Akhir:
-----------------------------

1  Fiqh menurut bahasa adalah pemahaman sedangkan secara istilah ulama’ Syafi’iyah adalah sebagai berikut: الفقه هو العلم الاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصلية  Mengetahui terhadap beberapa hukum islam yang bersifat praktis serta diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci”.Abu Abdillah, Tausyeh ‘Ala Fath Al-Qorib Al-Mujib, (Semarang: Toha Putra, tt), 6.
2  Suatu masa yang mengkristalkan ilmu fiqh dan terpisahnya dengan ilmu–ilmu yang lain sehingga menjadikan ilmu fiqh sebagai disiplin Ilmu tersendiri
3  Ibrahim Moch. Mahmud Hariri, Al-Madkhol Ila Al-Qowaid Al-Fiqhiyah Al-Qulliyah” (‘Iman: Dar Imar, 1998), 28-29.
4  Hukum-hukum fiqh yamg mereka kemukakan merupakan sebuah perjalanan panjang untuk mengetahui hukum tersebut dengan melalui naluri akal yang tidak terlepas dengan konsep ijtihad.
5  لا ينكر تغيرالا حكام بتغير الازمان والامكان Artinya tidak bisa dipungkiri akan adanya perubahan suatu bentuk hukum disebabkan adanya perubahan waktu dan tempat (Situasi Dan Kondisi yang ada). Hariri, Al-Madkhol Ila Al-Qowaid Al-Fiqhiyah Al-Qulliyah”, 115.
6  Abu Hanifah adalah seorang ahli kalam dan ahli fiqh, kitabnya yang terkenal al-fiqhu al-akhbar dan kitab tentang fiqhnya disebut al-fiqhu asghar. Lihat Al-Milal Wa Al-Nihal, 3/9.
7  Murtadho Muthahhari, Mabda’ Al-Ijtihad Fi Al-Islam, (tt),22.
8  Azyumardi Azra, Insklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 3, 2001), 215-216.
9  Hijaz adalah nama lama dari semenanjung arab, sebelum tahun 1924 dipimpin oleh Syarif  Husein setelah dikalahkan oleh kabilah Ibnu Saud  yang mendapat bantuan dari inggris, nama hijaz dirubah menjadi kerajaan Saudi Arabia (mamlakah al-rabiyyah al-saudiyah) dan dalam hal ini Ibnu Saud beraliran Wahabi. Dr. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia, ( Jakarta: LP3ES, 1980), 242-243.
10       Qonun Asasi atau AD / ART dan As’ad Thoha, Pendidikan ke-NU-an, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1991),30.
11       Riyal Ka’bah, Formulasi Hukum Dikalangan NU (Afkar: No:5, 1999),71 dan hal ini sesuai dengan ART NU Butir 7 Pasal 16, Menyebutkan: “Lajnah bahsul masail bertugas menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf (tidak ada dalil dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan waqi’ah (masalah-masalah yang baru terjadi / sesuai dengan kenyataan) yang harus segera mendapat kepastian hukum”.
12       Dikatakan kitab kuning karena kertas kitab-kitab ini pada umumnya berwarna kuning, meskipun sekarang sudah dicetak dengan kertas putih. Kitab-kitab ini membahas masalah fiqih, teologi dan tasawwuf.
13           Syafi’iyah adalah Fatwa-Fatwa yang tidak langsung dari Imam Syafi’i sehingga diupayakan para ulama atau mujtahid madzhab yang dalam hal ini tidak keluar dari koridor pemikiran Imam Syafi’i, seperti Imam Nawawi, Imam Rofi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami dan lain sebagainya.
14           Syari’ adalah pembuat hukum yang dalam ajaran hukum islam ada dua, yaitu: Allah SWT yang telah menurunkan Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW dengan sabda Haditsnya.
15           Muaz Bin Jabal (Madinah, 20 SH/603 M – Yordania, 18 H/ 639 M), adalah salah seoang sahabat terdekat Rasulullah SAW, ia seorang ahli fiqh, muhaddits, mujtahid dan mufti. Beliau berasal dari kaum anshor dan termasuk kelompok as-sabiqun al-awwalun (umat islam pertama), ia masuk islam melalui Mus’ab Bin Umair (sahabat nabi SAW). Kedalaman Ilmu Fiqh Muaz mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW dan bahkan terlibat dalam sabda beliau,“ Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Muaz Bin Jabal”.dan sebuah riwayat dari Abdullah Bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: ambillah al-qur’an dari empat orang, yaitu Ibnu Mas’ud, Ubay Bin Ka’ab, Muaz Bin Jabal dan Slaim Maula Abi Hazaifah”.dan tulisan Azyumardi Azra, Insklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 3, 2001), 249.
16   Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abdurrahman Ibnu Al-Fadlal Ibnu Bahran At-Tamini As-Samarqondi, Sunan Al-Darimi, (Beirut: Dar Al-Kuktub Al-Alamiyah, 1996),168.
17   Nur Chatim Zaini, Perspektif Baru Pesantren Dan Pengembangan Masyarakat, (Surabaya: Yayasan Tri Guna Bhakti, 2001), 19.




















Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP PAI VI A TAHUN AKADEMIK 2018/2019

PUASA DAN KEPEDULIAN SOSIAL DI ERA PANDEMI COVID 19 (Edisi Ketiga, 03 Romadhon 1441 H)

RITUAL QURBAN: Dari Theosentris Menuju Antroposentris (Bagian Kedua)