DASAR FATWA MUI DALAM PENERAPAN HUKUM ISLAM (Telaah Atas Interaksi Sosial Dalam Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia)


Abstraksi: Majelis Ulama Indonesia ( MUI) merupakan mitra pemerintah dalam penyelenggaraan program pembangunan pengembangan kehidupan yang islami. MUI juga merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama menuju Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghafur atau negeri yang subur, makmur dengan berlandaskan ajaran-ajaran islam. Disatu sisi, tugasnya MUI adalah memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, untuk menentukan status hukum islam atau Fiqh di Indonesia, dan disisi yang lain, lembaga ini tetap harus konsisten dalam mengeluarkan fatwanya terhadap Mashodir Al Ahkam yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, yang secara keseluruhan telah terkodifikasi beberapa abad sebelumnya. Sementara Fiqh yang merupakan ranah MUI hanyalah merupakan produk dan hasil ijtihad para imam madzhab yang sumbernya diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang bersifat elastis dan dinamis dalam penerapannya. Produk hukum fiqh yang dilahirkan oleh MUI di indonesia tentunya juga berbeda dengan produk fiqh yang muncul pada masa – masa sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah interaksi sosialnya dan situasi serta kondisi yang melingkupinya, sehingga menyebabkan produk hukum fiqhnya juga berbeda.

Kata kunci: MUI dalam proses penetapan Hukum Fiqh, Interaksi Sosial, Situasi Dan Kondisi Masyarakat.
Abstract: The Indonesian Ulama Council (MUI) is a partner of the government in the implementation of Islamic development development program. MUI is also a venue or assembly that gathers the scholars, zuama and Indonesian Muslim scholars to unite the movements and steps of Indonesian Muslims in realizing the common goal towards Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghafur or a fertile, prosperous country based on the teachings of Islam . On the one hand, the task of MUI is to provide advice and fatwa on religious and social issues to the Government and society, to determine the legal status of Islam or Fiqh in Indonesia, and on the other hand, this institution must be consistent in issuing its fatwa against Mashodir Al Ahkam that is Al- Qur'an, Al-Hadith, Ijma 'and Qiyas, all of which had been codified centuries before. While Fiqh which is the realm of MUI is merely a product and the result of ijtihad of madzhab priests whose source is taken from Al-Qur'an and Al-Hadith which is elastic and dynamic in its application. The fiqh legal product which was born by MUI in Indonesia is of course also different from fiqh product that appeared in the previous times. One of the causes is the social interaction and the circumstances surrounding it, causing the fiqh law product is also different.

Keywords: MUI in the process of determining Fiqh Law, Social Interaction, Situation and Condition of Society.



Ø  Muqoddimah
Dewasa ini, masyarakat indonesia mengalami peningkatan kuantitas dalam mengkaji hazanah Islam klasik “ Fiqh” yang kemudian dielaborasikan dengan disiplin ilmu sosial, dan tak khayal mendorong banyak pihak untuk mereduksi dan diaktualisasikan ke zaman sekarang yang tiada lain bertujuan agar ajaran agama Islam selaras dengan perkembangan zaman. Tak terkecuali MUI sebagai lembaga keagamaan yang memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT dan memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;  menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan di indonesia. Yang dilakukan MUI Ini membuktikan bahwa agama Islam sesuai dengan peradaban manusia sampai akhir masa.
Sebagai disiplin ilmu yang bergumul dengan nilai dan prinsip dasar dalam agama islam, fiqh merupakan ilmu yang cukup tua. Kelahirannya bersamaan dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun belum dibukukan pada waktu itu, namun pada prakteknya, fiqh sudah ada ketika masa ke-rasul-an Muhammad SAW. Baru pada awal abad II Hijriyah, ilmu yang satu ini bisa dikodifikasikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan data sejarah bahwa sekitar awal abad II Hijriyah telah tersusun kitab fiqh yang bernama Muwaththa’ karangan Imam Mālik, Selain kitab Muwaththa’ juga terdapat kitab fiqh Dari kalangan madzhab Hanafiyah, yaitu kitab Fiqh al-Akbār karangan Abū Yusūf dan Abū Hasan murid Dari Imam Abū Hanīfah (baca : Dhuhā al-Islām, Ahmad Amin, hal. 193). Dari golongan madzhab Syāfi’iyah terdapat kitab al-Umm karangan monumental Imam Syāfi’i yang merupakan pendiri madzhab Syāfi’iyah. Dari kalangan Hanābilah terdapat kitab Musnad ibn Hanbal. ( Abū Zahrah,tt,132)
Bahkan lebih jelas lagi, al-Ghazāliy memberi komentar sebagaimana yang dikutib dalam kitab Ihyā' Ulum al-Dīn. Menurutnya, bila kita menelusuri lebih mendalam, sesungguhnya ilmu-ilmu keIslaman khususnya ilmu fiqh dan usūl fiqh, sudah ada pada zaman Rasulullah dan telah berakar dalam pribadi beliau.( Al-Ghazāliy,tt, 33)
Dengan konsep metodologi masing-masing imam madzhab pada masanya, ilmu fiqh tumbuh menjadi ilmu yang paling berpengaruh di kalangan masyarakat muslim, melebihi cabang-cabang ilmu keislaman lainnya. Pernyataaan ini dapat dilacak, misalnya dari pernyataan Isma’īl al-Zarnūjiy dalam Ta’līm al-Muta’allim bahwa fiqh merupakan ilmu yang paling utama dan dapat menunjukkan umat ke jalan kebaikan dan ketaqwaan.( al-Zarnuji, tt, 7)
Terlepas dari statemen di atas, yang perlu diketahui bahwa pada dasarnya perkembangan fiqh dapat dibagi menjadi lima fase. Fase pertama, masa Rasulullah. Masa ini berjalan selama 22  tahun dan beberapa bulan lamanya, yaitu sejak Rasulullah diutus sebagai rasul, yaitu pada tahun 610 M sampai beliau wafat pada tahun 632 M. Fase kedua, masa penafsiran dan penyempurnaan. Yaitu di masa sahabat selama kurang lebih 90 tahun lamanya, mulai Rasulullah wafat pada tahun 11 H sampai akhir abad I H. Fase ketiga, masa kodifikasi (pembukuan) teks-teks hukum dan di masa ini pula masa tersebar luasnya Imam-Imam ahli ijtihad (ahli hukum) dan di masa ini pula disebut masa perkembangan legislasi hukum Islam. Masa ini berjalan selama 250 tahun , yaitu tahun 100 H sampai tahun 350 H.
Fase keempat, masa taqlīd. Di masa inilah merupakan kebalikan masa sebelumnya, karena kalau masa sebelumnya ahli hukum mampu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mendapatkan hukum dari hasil kesimpulan teks-teks al-Qur’an dan Hadīts. Tapi masa ini, umat Islam hanya mengekor hasil periode sebelumnya, sehingga masa ini disebut “masa buntu dan beku”. Masa ini dimulai dari pertengahan abad ke 4 H sampai pada masa  yang belum diketahui batas akhirnya, karena masa sekarang tetap seperti itu. (Khudlāri Beik,tt, 4)
Muhammad Iqbal, pemikir asal Pakistan, menengarai ada tiga faktor penyebab pemasungan fungsi nalar ijtihad itu. Pertama: merebaknya isu penafsiran longgar yang dikembangkan oleh paham rasionalisme. Kalangan rasionalis dinilai telah mengundang sikap antipati kelompok pemikir Islam lain dengan melakukan penafsiran longgar terhadap agama. Tak hanya itu, isu rasionalisasi yang mereka kembangkan dinilai lepas begitu saja dari konteks sejarah sehingga menimbulkan perlawanan pihak konservatif. Sebagai dampaknya, para ulama’ saat itu lalu khawatir wilayah ijtihad dimasuki mereka yang tak cukup memiliki kompetensi melakukannya. Sebagai langkah preventif, mereka kemudian memberikan kriteria persyaratan super ketat bagi seorang mujtahid. Kondisi seperti inilah yang kemudian mengesankan pintu ijtihad sudah ditutup.
Kedua: Asketisisme atau tren hidup bertapa yang melanda dunia tashawuf menyebabkan suburnya penafsiran eskapisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata. Pada gilirannya, kecenderungan seperti ini mereduksi diskursus intelektual dan nalar ijtihad. Pra kondisi seperti ini lalu memunculkan kecenderungan menutup kran berpikir untuk mengembangkan wacana agama ke arah yang lebih kreatif dan dinamis.
Ketiga: Pembumihangusan Baghdad, kota seribu satu malam, oleh tentara Mongol dari Asia Tengah. Tragedi berdarah yang terjadi pada abad ke-13 M ini bukan saja melumpuhkan pusat kebudayaan Islam tetapi juga berdampak pada melemahnya kesatuan umat. Lalu untuk merajut kembali kesatuan pandangan umat Islam saat itu, para juris Islam lebih sreg menutup pintu ijtihad untuk menghindari munculnya keragaman pendapat. (Fazlur Rahmān, 1997, 88)
Dari konsep ini, MUI menjadikan interaksi sosial baik sebagai disiplin ilmu ataupun sebagai realitas dimasyarakat yang tidak bisa pungkiri sangat mempengaruhi terhadap konstruk Hukum Islam atau lebih dikenal dengan istilah “Fiqh” di indonesia.  

Ø  Kilas balik Interaksi Sosial sebagai pijakan Imam Madzhab Dalam penetapan Hukum Islam
Secara garis besar, suatu interaksi sosial hanya akan mungkin terjadi bila memenuhi dua syarat, yaitu diantaranya: Pertama, adanya kontak social antara manusia yang satu dengan yang lainnya ataupun satu kelompok. Hal ini bisa terjadi bila ada hubungan secara jasmaniah misalnya harus bertemu langsung dan bersentuhan. Namun sebagai gejala social tidak senantiasa pertemuan itu bisa dilakukan secara langsung, akan tetapi bisa melalui orang lain, telpon, surat dan lain sebagainya.
Kedua, terjalinnya komunikasi yang aktif. Suatu komunikasi bisa terjadi bila seseorang memberikan tafsiran pada prilaku orang lain yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak jasmaniah atau sikap dan perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber hukum islam, tidaklah muncul dengan tiba-tiba dan tidaklah diturunkan diruang yang hampa tanpa adanya manusia, akan tetapi keduanya merupakan justifikasi dari kehidupan manusia yang terjadi ketika itu.
Kalau kita mencermati sejarah perkembangan hukum islam, sejak awal memang kita telah melihat format dialektika dalil-dalil hukum islam dengan interaksi sosial. Mulai teks-teks Al Quran dan praktek Nabi sampai pada kebijakan-kebijakan para sahabat dalam mengcover problematik umat islam. Dari Al-Quran misalnya, ayat-ayatnya banyak turun tidak lain adalah sebagai respon atas realita yang berupa pertanyaan-pertanyaan riil dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan, kebutuhan-kebutuhan dan adanya momentum bersejarah yang dilakukan oleh umat Nabi.
Hal ini bisa kita lihat melalui penegasan Al-Quran seperti:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا
Artinya:“Dan Alqur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian”. (QS: Al-Isro: 106).
Ayat ini menjelaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an sebagai ajaran islam adalah merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang homogen, sehingga tenggang waktu yang dibutuhkan untuk mem-Paripurna ajarannya sangat membutuhkan waktu yang relatif tidak singkat, bahkan sampai batas waktu 23 tahun. Dus, permasalahan-permasalahan kemanusiaan sampai sekarangpun masih silih berganti seperti halnya berjalannya masa senantiasa berubah.
Dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan metode hermeneutika selalu terjadi dialog komunikatif yang berimbang antara dunia teks (the world of text), dunia penulis (the world of author) dan dunia pembaca (the world of reader). Artinya teks, konteks dan konstektualisasi selalu berdialektika secara sirkular. Paradiqma hermeneutika selalu melihat teks secara kritis dan memposisikanya sebagai sesuatu yang harus dibaca secara produktif, dimana seorang mufassir berangkat dari realistis (Al-Waqiiyah) untuk mengungkap apa yang ditunjukan oleh teks (dalalah an-nash) masa lalu untuk kemudian kembali dalam membangun signifikansi. (Mustaqim, 2012:65).
Artinya al-Qur’an bukanlah baris kata-kata untuk sekedar dibaca, dihafal, dilagukan atau dijadikan hiasan rumah belaka, tetapi Al-Qur’an harus dipelajari, dihayati dan diamalkan serta dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menyesuaikan perubahan zaman yang ada. Karena bagaimanapun, arti dari Al-Qur’an sebagai pedoman hidup tidak terletak hanya ketika dibaca dan dihafalkan, justru ia bermakna ketika Al-Qur’an dijadikan media dan acuan perbuatan manusia. Sehingga Al-Qur’an mampu menampung dan memecahkan masalah-masalah baru yang terjadi di Indonesia. Disinilah peran ijtihad sangat diperlukan untuk mengejawantahkan nilai-nilai Al-Qur’an dan memberikan kesempatan untuk berfikir dan menimbang. Bukan hanya taklid kepada salah satu imam madzhab yang terkadang menjadikan umat islam statis  dan stagnan, tidak lagi komunikatif dan inspiratif bagi ummat islam.
Secara generik, “Islam” sebagai manifestasi dari Al-Qur’an merupakan agama yang membawa misi pembebasan dan keselamatan. Islam hadir dimuka bumi ini dalam rangka memberikan moralitas baru bagi terjadinya interaksi sosial, begitupun Al-Qur’an sebagai sumber moral dikarenakan karakternya yang metafisik dan humanis serta bercorak Vertikal namun juga menekankan aspek Horizontal.
Menurut Muhammad Imarah, ( tt: 45), menyebutkan bahwa “Agama Islam merupakan ajaran yang bersumber dari sang pencipta dan berorientasi kemanusiaan ( الاسلام ا لهى المصدروانسانيات الموضوع) berawal dari pendapat ini, islam tidak hanya menjadi agama yang membawa wahyu ketuhanan, melainkan juga sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tidak hanya terjadi ketika diturunkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, namun lebih dari itu produk-produk hukum yang telah tertorehkan dalam Madzahibul Arba’ah senantiasa berorientasi kepada peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang melingkupi imam-imam madzhab tersebut.
Ada hal menarik yang disampaikan oleh al-Sya’rāniy dalam kitabnya Mizan Al-Qubro,  Menurutnya, hukum haruslah diposisikan (diterapkan) kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Kadar kemampuan seseorang oleh al-Sya’rāniy dapat diukur dengan berbagai hal.
Pertama, diantara diukur dengan ketaqwaan. Hal ini dapat dilacak dalam kitabnya bagaimana beliau mengarahkan suatu hukum sesuai dengan kadar orang wara’ tersebut, seperti hukum menduga-duga buah yang akan dizakatkan. Menurut pendapat Imam yang tiga adalah sunnah, jika nampak kebaikan buahnya karena membuat senang bagi pemilik dan fakir miskin dan karena memurnikan tanggung jawabnya. Lain halnya menurut Imam Abū Hanīfah, mengira-ngira adalah tidak sah. Dari dua prodak hukum ini terdapat hukum yang memberatkan, yaitu pendapat yang difatwakan oleh Imam Abū Hanīfah. Pendapat ini diperuntukkan untuk kalangan khās, yaitu orang wara’.
Kedua, Kadar kemampuan juga diukur dari segi kekayaan. Dalam hal ini al-Sya’rāniy memberi contoh kasus Perbedaan ulama' tentang barang yang bisa di jadikan alat untuk membayar zakat Menurut, Imam yang tiga ( Imam al-Syāfi'iy,  Imam Mālik, Imam Ahmad), ada lima macam yang bisa di jadikan alat untuk menunaikan zakat fitrah antara lain: gandum bur, gandum syair, kurma, zabib dan keju dengan catatan menjadi makanan pokok. Sedangkan menurut Imam Abū Hanīfah, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan keju, namun kalau memakai harga dari keju tersebut hukumnya boleh. Yang perlu digaris bawahi disini adalah pendapat Imam Abū Hanīfah yang membolehkan zakat dengan harga barang. Hukum ini menurut komentar al-Sya’rāniy layak baik untuk  kalangan orang kaya.
Ketiga, kadar kemampuan seseorang bisa diukur dengan derajat oleh Allah, yakni Nabi. Dalam hal ini mencontohkan dalam kasus hukum zakat fitrah. Menurut kesepakatan ulama’ yang empat, hukum zakat fitrah adalah wājib. Lain halnya menurut Imam al-'Asham dan lainnya adalah sunnah. Dari prodak hukum oleh al-Sya’rāniy diarahkan sesuai dengan tempatnya. Artinya hukum kesunnahan mengeluarkan zakat fitrah untuk Nabi.
Keempat, kadar kemampuan seseorang dapat  diukur dengan sifat bijak sebab kedalaman ilmunya. Dalam hal ini al-Sya’rāniy memberi contoh dalam kasus perselisihan pendapat dikalangan ulama' tentang pemberian zakat kepada orang yang mampu bekerja. Menurut pendapat Imam Abū Hanīfah dan Imam Mālik, boleh memberikan zakat kepada yang mampu bekerja. Namun, menurut Imam al-Syāfi'iy dan Imam Ahmad, tidak boleh memberikan zakat kepeda orang yang mampu bekerja. al-Sya’rāniy memberi hukum yang kedua bagi kalangan orang yang bijak sebab kedalaman ilmunya.
Dari empat ukuran sekaligus contohnya, dapatlah diambil benang merah, bahwa penerapan hukum Islam menurut Imam al-Sya’rāniy dapatlah diukur dengan dua hal. Pertama, ukuran secara abstrak. Seperti nilai keimanan, kewara’an, dan lain-lain. Kedua, ukuran secara kongkrit. Seperti, kekayaan, keilmuan dan lain-lain.  Al-hasil, Penentuan khās dan 'awām ini berdampak pada penerapan hukum pada seorang mukallaf. Apa yang ditawarkan oleh al-Sya’rāniy, sesungguhnya adalah sama dengan apa yang telah ditawarkan oleh para ahli dalam masalah sosiologi hukum. Menurut mereka, hukum memang bersifat universal tidak pandang bulu. Namun hukum ada yang bersifat individualistik, itu pun ada tujuan-tujuan tertentu, yakni kemaslahatan umat. (Alvin S. Jonhson,158)

Ø  Dasar MUI dalam Penerapan Hukum Islam Di Indonesia
Di satu sisi, indonesia adalah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut agama islam. Sebagian hukum islam telah berlaku di indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan islam, cerebon merupakan salah satu buktinya. Demikian pula kerajaan sultan aceh, kerajaan pasai dan lain sebagainya. Dan secara sosiologis, hukum islam dapat dikatakan telah berlaku di indonesia. Sebab, sebagian hukum islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan tersebut hingga zaman kemerdekaan. Dan secara yuridis, sebagian hukum islam telah dilaksanakan. Namun penerapan prinsipnya berangsur-angsur dalam pengundangan hukum islam di indonesia. (Supriyadi, 2010: 291-293).
 Disisi yang lain, indonesia merupakan salah satu negara yang situasi dan kondisinya sesuai dengan pemikiran salah satu imam yang empat, yaitu Imam Syafi’i --menurut Wahbah Zuhaili , (1983: 36), menyampaikan dalam kitabnya “Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu”: Imam Syafi’i merupakan seorang Mujtahid Mustaqil Muthlaq yang paham Bidang Fiqh dan Hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan Fiqh Ulama Hijaz (sekarang wilayah Mekkah dan Madinah) dan Fiqh Ulama Iraq, dan ia termasuk orang yang paling mengerti tentang Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, semua Ulama Ahli Fiqh, Ushul, Hadits, Ahli Bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam Syafi’i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik serta mempunyai kedudukan yang mulya -- yang secara mayoritas menganut pendapatnya, karena berawal dari kehadiran Islam di Asia Tenggara berkat interaksi mereka dengan pendatang ---sebagai pedagang maupun  sebagai  pendakwah---, dalam hal ibadah ataupun muamalah, madzhab syafiiyah selalu menjadi pedoman sehari-hari. Disamping itu, disatu sisi masyarakatnya lebih cendrung berfikir rasionalis dan disisi yang lain bertindak tradisionalis, sehingga hukum yang ada di indonesia senantiasa mengambil pendapat-pendapat Imam Syafi’i atau Syafiiyah dari pada konsep-konsep imam yang lain.( Muhyiddin, 2010: 57). Kenyataan mengenai terlalu dominannya Madzhab Syafi’i memang ada. Pendapat para Ulama’ Syafi’iyah masih cukup dominan dalam Bahtsul Masa’il NU --yang merupakan kegiatan (forum) diskusi keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi terhadap problematika actual yang muncul dalam kehidupan, baik masalah ibadah, muamalah, munakahah dan jinayat.
Alm.KH. Sahal Mahfudz  yang menjabat sebagai ketua Umum MUI sejak tahun 2000 sampai dengan 2014 menjelaskan bahwa dominasi Syafi’i bukan berarti ulama’ NU menolak pendapat ulama’ di luar Syafi’yah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai cukup referensi lain di luar Madzhab Syafi’i semisal kitab Al-Mudawanah (Imam Malik), Kanz Al-Wushul (Bazdawi Al-Hanafi), Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (Ibn Hazm), Raudat Al-Nazhir Fi Jannat Al-Munazhir (Ibnu Qudamah Al-Hanbali) dan lain-lain. (Miri, 2005: xxxIV).
Ada banyak contoh kasus penetapan hukum islam oleh MUI yang nyata-nyata sangat bersinggungan dengan interaksi sosial. Salah satunya adalah penetapan hukum makruh dan haram merokok, hal ini berdasarkan sebuah argumentasi bahwa masyarakat mengakui bahwa industri rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang cukup besar. Industri rokok juga telah memberikan pendapatan yang cukup besar bagi negara. Bahkan, tembakau sebagai bahan baku rokok telah menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian petani. Namun di sisi yang lain, merokok dapat membahayakan kesehatan (Dlarar) serta berpotensi terjadinya pemborosan (Israf) dan merupakan tindakan Tabdzir. Disisi yang lain, hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh Al-Qur'an dan Hadis Nabi, begitu juga hukum merokok masih diperselisihkan oleh fuqaha'.
Dengan pertimbangan diatas, Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (Khilaf Ma Baiyna Al-Makruh Wa Al-Haram). Hukum haram diberikan jika dilakukan di tempat-tenpat umum apalagi dilakukan oleh anak-anak dan oleh wanita hamil. Sebagai folluw up dari kebijakan hukum makruh dan haram tersebut, MUI juga mengeluarkan rekomendasi sehubungan dengan adanya banyak madlarrat yang ditimbulkan dari aktifitas merokok, diantaranya adalah DPR diminta segera membuat undang-undang larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil, Pemerintah sebagai leading sektor baik pusat maupun daerah diminta membuat regulasi tentang larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil dan menindak pelaku pelanggaran terhadap aturan larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.
Contoh lain adalah penetapan MUI terhadap terjadinya jatuh talak 1 bagi seorang suami yang menyebutkan kata talak 3 kali sekaligus dengan beranggapan bahwa naskah fiqh klasik yang menyatakan jatuh 3 dan bahkan ada juga yang berpendapat jatuh 1 sebagaimana pendapat Thawus – Ibn Taimiyah, dan beberapa Fuqaha Zhahiriyah. Perbedaan pendapat itu merupakan pikiran fuqaha dan bukan hukum doqma dari Al-Quran ataupun hadits, apalagi berdasarkan adanya UU No.1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa talak tiga sekaligus seharusnya tidak perlu terjadi dan di point berikutnya penjatuhan talak suami hanya bisa dilakukan di depan Hakim Pengadilan Agama, oleh karena itu, hakim yang menyatakan keabsahan penjatuhan talak, sehingga belum sah jika diucapkan di rumah.  Namun demikian, MUI juga menghimbau  agar Pengadilan Agama mencegah terjadinya talak 3 dan menganjurkan kepada masyarakat untuk tidak sembarangan mengucapkan kata talak.
Sebagai ilustrasi, terkait dengan masa iddah perempuan yang diceraikan oleh suaminya dengan mempertimbangkan hasil kemajuan tehnologi kedokteran. MUI menetapkan Masa iddah seseorang tidak lagi 4 bulan 10 hari atau 3 kali sucian atau bahkan tidak harus menunggu beberapa hari lamanya, tetapi cukup diselesaikan oleh seorang wanita dalam tempo sekian jam, apabila ia telah mendapatkan surat keterangan dari dokter ahli kandungan bahwa ia tidak hamil setelah perceraiannya, maka segera ia dapat menikah.
Kemajuan ilmu dan tehnologi inilah yang sekarang menantang kemapanan hukum itu sendiri misalnya adanya bayi tabung, penitipan benih (janin yang telah dibuahi) pada perempuan yang menyewakan rahimnya, bayi hasil kloning atau akad via alat tekhnologi, sebagian menjadi sebab munculnya persoalan kewarisan. Cepat atau lambat karena derasnya informasi, maka untuk masa depan hukum tidak terkecuali hukum Islam yang masih menunggu hasil fatwa MUI harus mampu memberikan jawaban yang bersifat komprehensif. Rujukan rujukan jawaban kepada kitab kitab klasik, barangkali akan semakin sulit didapat dan hal ini sesuatu  yang harus dapat dijawab dengan metode istimbath sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dalam Hukum Islam untuk di terapkan di indonesia. (Abdul Wasik, 2015, 45)
Dari contoh diatas, disatu sisi MUI menggunakan dalil naqli yang bersifat tekstual sebagai dasar pengambilan hukum dan disisi yang lain mempertimbangkan kontekstual situasi dan kondisi yang ada sebagai pijakan penetapan hukumnya.

Ø  Metode Ijtihad MUI dalam Penetapan Hukum islam
Istilah Fiqh di Indonesia agaknya ganjil didengar, sama dengan Fiqh Malaysia, Fiqh Saudi, Fiqh Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Fiqh itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Memang betul Fiqh itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), Fiqh juga memiliki acuan maqāīd al-syarīʻah (tujuan syariat). Maqāīd al-syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui berbagai istiqrā (penelitian) dan selalu mengacu kepada kaida Fiqh:
لا ينكر تغير الا حكام بتغير الا زمنة والا مكنة
Artinya: “Tidak bisa dipungkiri berubahnya suatu status hukum adalah disebabkan dengan berubahnya situasi dan kondisi yang ada”. (Hariri, tt: 115)
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan (malaah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini sebagaimana yang di katakan oleh Wahab Khollaf ( tt: 200 ), adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yang menjadi kebutuhan manusia pada umumnya, yaitu Hif Al-Dīn, Hif Al-ʻAql, Hif Al-Nafs, Hif Al-Māl, Dan Hif al-ʻIr/ Nasl. Sehingga tidak menutup kemungkinan, dalam satu kasus / masalah dalam fiqh, senantiasa terdapat jawaban yang berbeda diantara imam madzhab yang empat, karena disebabkan adanya perbedaan lokasi dan kondisi yang melingkupinya, serta mempunyai maslahah yang berbeda pula.
Abdul Wahab Khollaf (tt: 84-85) juga menjelaskan tentang pembagian maslahat kepada dua bagian. Pertama, Maslahat MuʻTabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Seperti diwajibkannya hukuman qishosh untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khomer untuk memelihara akal, ancaman hukuman jilid dan cambuk bagi zina untuk memelihara kehormatan dan harga diri manusia, serta atas hukuman potong tangan bagi pencuri untuk menjaga hak-hak dan harta orang lain. Kedua, Maslahat Mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus dan tidak ada ketegasan hukumnya, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya, serta tidak ada bandingannya dalam Nash Al-Quran ataupun Hadits untuk dapat dianalogikannya. seperti pencatatan akad nikah, untuk melegalkan sebuah akad pernikahan dalam aturan pemerintah, dan terjadinya transaksi jual beli dengan pencatatan hitam diatas putih untuk semata-mata sebagai bukti pemindahan kepemilikan harta orang lain.
Maqāīd al-syarīʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
1     Dalam memahami nuū al-syarīah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan maqāīd al-syarīʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual (antara konsep dan realitas).
2     Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alquran dan Sunnah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyās, Istisān, Sadd al-żarīʻah, ʻurf, dan malaah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyās ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama. Istisān ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai. Sadd al-żarīʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan kepada mafsadat. ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang shahih seperti bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqāid) syariat. Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada fiman Allah dalam QS: al-Aʻrāf: 199:
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Artinya: “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Aʻrāf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadits riwayat Ibn Masʻūd yang menyampaikan:
ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسنٌ
Artinya: “Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.” (Shohih Bukhari, tt: 256)

Ibrahim Moh Mahmud Hariri (tt: 113) dalam Kitab Al-Madkhol mengungkapkan:  التعيين بالعرف كالتعيين بالنص / الثابت بالعرف كاالثابت بالنص “ Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.” Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya, karena yang pertama bersifat ilahiah sementara yang kedua adalah insaniah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan. Sehingga status budaya yang tercipta dari manusia, eksistensinya sama dengan sebuah ketetapan hukum dalam Al-Qur’an.
Selain nuū al-syarīʻah dan maqāīd al-syarīʻah, Islam juga memiliki mabādi al-syarīʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”.(QS. Al-Baqarah: 143)

Wasaiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Moderasi” memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah Al-Wāqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti Taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal. Hal ini sesuai dengan Firman-NYA
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar:ra’d: 11)

Dalam kaidah Fiqh, (As-Suyuthi, tt: 59) banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai acuan dasar untuk penerapan prinsip wāqiʻiyyah dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya: الضرر يزال Artinya kemudaratan haruslah dihilangkan, اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق Artinya Apabila suatu perkara menjadi sempit / tidak ada kemampuan maka hukumnya meluas, dan apabila suatu perkara menjadi meluas / kemudahan atau kemampuan maka hukumnya menjadi menyempit. درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Menolak Mafsadat Didahulukan daripada Mengambil Manfaat). Dan kaidah-kaidah fiqh lainnya.
Ada beberapa kegiatan dakwah Wali Songo di indonesia ini yang telah mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga mengubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Cerita diatas, mengindikasikan kepada kita semua bahwa pada dasarnya ajaran islam / pengejewantahan fiqh pada masyarakat bukanlah sebuah doktrin dari Al-Qur’an dan Al-Hadits semata, melainkan konvergensi dari teks dan konteks masyarakat sekitarnya. Walaupun dalam pengaplikasiannya ada perbedaan prinsip antara konsep Fiqh ibadah (Ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah Fiqh  ibadat mengatakan “الله لا يعبد الا بما شرع”/Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah Fiqh muamalat mengatakan, “المعاملات طلق حتى يعلم المنع”/Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Karenanya yang diperlukan saat ini adalah upaya menguak kembali hakekat doktrin keagamaan, terutama mengembalikan syariah pada maqoshid al-syariah, mendudukkan kembali fiqh pada ushul fiqh, sehingga syariah dapat menegoisasikan visinya dengan konteks kekinian dan kemodernan, bukan hanya itu, syariat diharapkan dapat memotret  kembali konteks, ruang dan zamannya sebagaimana masa turunnya Al-qur’an (Asbab An-Nuzul) dan hadirnya Hadits Nabi Muhammad SAW (Asbab Al-Wurud). Hal ini sebenarnya sudah pernah diungkap pada masanya Abu Ishaq Al-Syathiby (790 H) dengan karya momentalnya Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariah.
Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan bahwa syariah atau fiqh tidak hanya dipahami sebagai kebenaran kognitif yang tidak bisa ditawar-tawar, ditafsir dan bahkan diperdebatkan walaupun sudah diketahui ruang dan waktunya sangatlah berbeda, namun syariah dan fiqh haruslah di pahami sebagai bentuk kebenaran praktis dengan melakukan upaya persenyawaan dengan problem-problem kemanusiaan yang senantiasa berkembang dan semakin menantang. Meminjam istilahnya ali harb dalam kitabnya Naqd Al-Haqiqah “ Al-Haqiqah Fi Adzhan Ila Al-Haqiqah Al-A’yan”. (Ali Harb, tt: 29)
Fiqh yang diajarkan di indonesia ialah konsep ulama di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
Satu lagi contoh penting dari berbagai ketetapan hukum yang diperoleh dari MUI adalah para ulama indonesia memahami dan menerapkan ajaran fiqh pada ideolgi Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah ajaran fiqh secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial pancasila adalah ajaran fundamental Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman dan dalam fiqh dikenal dengan fiqh ibadah, sila kedua dan ketiga kemanusiaan yang adil dan beradap serta persatuan indonesia senada dengan  konsep fiqh mualamah, sila ke empat mencermikan fiqh siyasah dan terakhir keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia merupakan bagian dari fiqh jinayat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan fiqh secara formal dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir dan fiqh “ islam” belum bisa diaktualkan di negeri tercinta ini.
Yang menjadi pekerjaan rumah MUI di indonesia ini adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Fiqh Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasād) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (alā). Dengan demikian, membaca Al-Qur’an sekaligus mempraktekkan dalam kehidupan dengan menyesuaikan dengan budaya-budaya lokal. Itulah konsep atau metode MUI dalam menetapkan hukum Fiqh Indonesia.
Sebagai tawaran MUI dalam keberlanjutan Fiqh di Indonesia adalah memasukkan unsur unsur Islam ke dalam hukum nasional yang berpotensi cukup luas dan beragam. Hiruk pikuk keinginan pemberlakukan hukum Islam di Indonesia lebih mempunyai daya dukung yang berarti bila hal itu dimulai dengan kesadaran dan keinginan yang keras dari masyarakat sendiri. Banyak bidang kehidupan sosial ekonomi yang sekarang mulai secara rational dan sadar dikerjakan oleh masyarakat sendiri secara Islami. Dimulai dengan berbagai sistem perbankan, seperti bank syariah, lembaga zakat yang terorganisasi secara rapi, bentuk sodaqoh infak untuk kaum duafa sebagai dasar pengentasan kemiskinan sangatlah berpeluang. Demikian juga masalah asuransi jiwa, asuransi haji dan lain sebagainya yang merupakan ladang untuk menghormati Hak Asasi manusia. Hal ini menunjukkan ruang gerak yang semakin luas dan diterima oleh masyarakat. Jikapun kemudian diperlukan pengaturan yang lebih formal, maka hal itu hanyalah merupakan penguatan daripada apa yang telah dilakukan oleh masyarakat secara sukarela. Dalam bahasa filosofisnya, maka hukum yang demikian, bukan merupakan “command of the souvereign” atau perintah penguasa akan tetapi lebih merupakan ketentuan hukum yang “accepted by (the majority of ) the people” yaitu hukum yang bisa diterima oleh mayoritas masyarakat.
Meskipun ruang dan peluang untuk berlakunya hukum Islam semakin lebar, namun tetap bergantung kepada kemampuan hukum Islam “Pemikir Islam“ itu sendiri untuk selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Artinya dalam ranah interaksi sosial, budaya, ekonomi, politik, tehnologi, dan persoalan umat lainnya, apakah Hukum Islam secara nyata dapat menjawab tantangan tersebut. Seberapa jauh Hukum Islam mampu memanfaatkan kemajuan tehnologi tanpa meninggalkan roh jiwa Hukum Islam itu sendiri. Inilah yang menjadi garapan pemberlakuan hukum islam yang diterapkan oleh MUI dalam mengeluarkan fatwanya.
Dalam perkembangannya, penerapan fatwa MUI terhadap hukum islam di indonesia telah banyak memberikan kontribusi dan menjadi pedoman undang-undang formal dalam bentuk “ Kompilasi Hukum Islam” sesuai dengan Intruksi Presiden No: 1 tahun 1991 disebutkan bahwa hukum materiil yang selama ini berlaku dilingkungan peradilan agama adalah hukum islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum kewakafan. Hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya ber-Madzhab Syafi’i. (Inpres RI, Kompilasi Hukum Islam, 2001, 108).
Namun demikian, bukan berarti persoalan hukum islam di indonesia sudah final dan purna, tapi masih menyisakan problem yang secara tegas butuh kajian dan penelitian dari pembaharu islam di indonesia, terutama dalam persoalan tindak kriminal, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya.

Ø  Akhiran
Hukum causalitas yang menyebabkan terjadinya suatu produk hukum islam sangatlah terkait dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia. Begitupun, suatu hukum yang berdasarkan fatwa MUI senantiasa berdasarkan akan dua hal yaitu tekstual dan kontekstual. MUI sebagai wadah ulama, zuama dan cendikiawan muslim, senantiasa tetap berpegang teguh kepada teks-teks Al-Quran dan Al-Hadits, namun tidak pernah melupakan bahwa teks-teks itu diturunkan senantiasa beradaptasi dan melakukan interaksi social dengan masyarakat sekitar, sehingga dalam penerapannya senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada dimana objek hukum itu berada, Begitu juga ketetapan tersebut tidaklah bersifat paten dalam aplikasinya, namun ia akan bersifat dinamis dan humanis dengan disesuaikan terhadap perubahan-perubahan interaksi sosial yang melingkupinya.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wasik, 2015, Fiqh Keluarga: Antara Konsep Dan Realitas, Yogyakarta: Deepublish.
Abdullah As-Samarqondi, Abu Muhammad. tt. Sunan Al-Darimi, Beirut: Dar Al-Kuktub Al-Alamiyah.
Abdusshomad, Muhyiddin. 2010. Fiqh Tradisionalis, cet VIII, Malang: Pustaka Bayan.
al-Ghozali, Muhammad ibn Muhammad,  Ihya' Ulum al-Din, jilid I, Maktabah Istiqomah.
Asy-Suyuthi, Imam Jalaluddin. tt. Al-Asybah Wa An-Nadhoir, Surabaya: Al-Hidayah.
Azra, Azyumardi. 2001. Insklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Harb, Ali. tt. Naqd Al-Haqiqah, Al-Markaz Al-Tsaqofy Al-Araby: Beirut.
Hariri, Ibrahim Moch. Mahmud. tt. Al-Madkhol Ila Al-Qowaid Al-Fiqhiyah Al-Qulliyah” .‘Iman: Dar Imar.
Imarah, Muhammad. tt. Hal Al-Islam Huwa Al-Hall: Kaifa Wa Limadza, Dar El-Shorouk: Kairo.
Khollaf, Abdul Wahab. tt.  Ilmu Ushul Al-Fiqh. Cet VIII,. Cairo: Maktabah Al-Da’wah Al-Islamiyah.
Miri, Djamaluddin. 2005. Ahkamul Fuqohah: Solusi Problematika Actual Hokum Islam, Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyar.
Mustaqim, Ali. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis.
Muthahhari, Murtadho. tt, Mabda’ Al-Ijtihad Fi Al-Islam: Cairo, Dar Al-Fikr Al-Arabi.
Rahman, Fazlur, 1997, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Rajawali Pres,.
Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Supriyadi, Dedi. 2010. Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), cet II, Bandung: Pustaka Setia.
Zahro, Abu, Tarikh al- Madzahib al-Islami, al-Madani, Mesir, tt.
Zuhaili, Wahbah. tt. Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz I, Suria: Dar Al-Fikr.

Komentar

  1. sippp .... mantap pak. mari terus berkarya dan memberikan manfaat pada orang lain...

    BalasHapus
    Balasan
    1. insyallah pak ini ilmu Nurun pak....kwkwkwkkw

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP PAI VI A TAHUN AKADEMIK 2018/2019

PUASA DAN KEPEDULIAN SOSIAL DI ERA PANDEMI COVID 19 (Edisi Ketiga, 03 Romadhon 1441 H)

RITUAL QURBAN: Dari Theosentris Menuju Antroposentris (Bagian Kedua)