DASAR FATWA MUI DALAM PENERAPAN HUKUM ISLAM (Telaah Atas Interaksi Sosial Dalam Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia)
Abstraksi: Majelis Ulama Indonesia ( MUI) merupakan mitra pemerintah
dalam penyelenggaraan program pembangunan pengembangan kehidupan yang islami.
MUI juga merupakan wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama menuju Baldatun Thoyyibatun
Wa Robbun Ghafur atau negeri yang subur, makmur dengan berlandaskan
ajaran-ajaran islam. Disatu sisi, tugasnya MUI adalah memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, untuk menentukan
status hukum islam atau Fiqh di Indonesia, dan disisi yang lain, lembaga ini
tetap harus konsisten dalam mengeluarkan fatwanya terhadap Mashodir Al Ahkam
yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, yang secara keseluruhan telah
terkodifikasi beberapa abad sebelumnya. Sementara Fiqh yang merupakan
ranah MUI hanyalah merupakan produk dan hasil ijtihad para imam madzhab yang
sumbernya diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang bersifat elastis dan
dinamis dalam penerapannya. Produk hukum fiqh yang dilahirkan oleh MUI di
indonesia tentunya juga berbeda dengan produk fiqh yang muncul pada masa – masa
sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah interaksi sosialnya dan situasi serta
kondisi yang melingkupinya, sehingga menyebabkan produk hukum fiqhnya juga
berbeda.
Kata kunci: MUI
dalam proses penetapan Hukum Fiqh, Interaksi Sosial, Situasi Dan Kondisi
Masyarakat.
Abstract: The Indonesian Ulama Council
(MUI) is a partner of the government in the implementation of Islamic
development development program. MUI is also a venue or assembly that gathers
the scholars, zuama and Indonesian Muslim scholars to unite the movements and
steps of Indonesian Muslims in realizing the common goal towards Baldatun
Thoyyibatun Wa Robbun Ghafur or a fertile, prosperous country based on the
teachings of Islam . On the one hand, the task of MUI is to provide advice and
fatwa on religious and social issues to the Government and society, to
determine the legal status of Islam or Fiqh in Indonesia, and on the other
hand, this institution must be consistent in issuing its fatwa against Mashodir
Al Ahkam that is Al- Qur'an, Al-Hadith, Ijma 'and Qiyas, all of which had been
codified centuries before. While Fiqh which is the realm of MUI is merely a
product and the result of ijtihad of madzhab priests whose source is taken from
Al-Qur'an and Al-Hadith which is elastic and dynamic in its application. The
fiqh legal product which was born by MUI in Indonesia is of course also
different from fiqh product that appeared in the previous times. One of the
causes is the social interaction and the circumstances surrounding it, causing
the fiqh law product is also different.
Keywords: MUI in the process of determining Fiqh Law,
Social Interaction, Situation and Condition of Society.
Ø Muqoddimah
Dewasa
ini, masyarakat indonesia mengalami peningkatan kuantitas dalam mengkaji
hazanah Islam klasik “ Fiqh” yang
kemudian dielaborasikan dengan disiplin ilmu sosial, dan tak
khayal mendorong banyak pihak untuk mereduksi dan diaktualisasikan ke zaman
sekarang yang tiada lain bertujuan agar ajaran agama Islam selaras dengan
perkembangan zaman. Tak terkecuali MUI sebagai lembaga keagamaan yang memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT dan memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama
dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah
timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan di
indonesia. Yang dilakukan MUI Ini membuktikan bahwa agama Islam sesuai dengan
peradaban manusia sampai akhir masa.
Sebagai
disiplin ilmu yang bergumul dengan nilai dan prinsip dasar dalam
agama islam, fiqh
merupakan ilmu yang cukup tua. Kelahirannya bersamaan dengan agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun belum dibukukan pada waktu itu, namun pada
prakteknya, fiqh sudah ada ketika masa ke-rasul-an Muhammad SAW. Baru pada awal
abad II Hijriyah, ilmu yang satu ini bisa dikodifikasikan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan data sejarah bahwa sekitar awal abad II Hijriyah telah
tersusun kitab fiqh yang bernama Muwaththa’ karangan Imam Mālik, Selain kitab Muwaththa’
juga terdapat kitab fiqh Dari kalangan madzhab Hanafiyah, yaitu kitab Fiqh
al-Akbār karangan Abū Yusūf dan Abū
Hasan murid Dari Imam Abū
Hanīfah
(baca : Dhuhā
al-Islām,
Ahmad Amin, hal. 193). Dari golongan madzhab Syāfi’iyah terdapat kitab al-Umm
karangan monumental Imam Syāfi’i yang merupakan pendiri madzhab Syāfi’iyah.
Dari kalangan Hanābilah terdapat kitab Musnad ibn Hanbal. ( Abū Zahrah,tt,132)
Bahkan
lebih jelas lagi, al-Ghazāliy memberi komentar sebagaimana yang dikutib dalam
kitab Ihyā' Ulum al-Dīn. Menurutnya, bila kita menelusuri lebih
mendalam, sesungguhnya ilmu-ilmu keIslaman khususnya ilmu fiqh dan usūl fiqh,
sudah ada pada zaman Rasulullah dan telah berakar dalam pribadi beliau.(
Al-Ghazāliy,tt, 33)
Dengan konsep metodologi masing-masing imam madzhab pada
masanya, ilmu fiqh tumbuh menjadi ilmu yang paling berpengaruh di kalangan
masyarakat muslim, melebihi cabang-cabang ilmu keislaman lainnya. Pernyataaan
ini dapat dilacak, misalnya dari pernyataan Isma’īl al-Zarnūjiy dalam Ta’līm
al-Muta’allim bahwa fiqh merupakan ilmu yang paling utama dan dapat
menunjukkan umat ke jalan kebaikan dan ketaqwaan.(
al-Zarnuji, tt, 7)
Terlepas
dari statemen di atas, yang perlu diketahui bahwa pada dasarnya perkembangan
fiqh dapat dibagi menjadi lima fase. Fase pertama, masa Rasulullah. Masa
ini berjalan selama 22 tahun dan
beberapa bulan lamanya, yaitu sejak Rasulullah diutus sebagai rasul, yaitu pada
tahun 610 M sampai beliau wafat pada tahun 632 M. Fase kedua, masa penafsiran
dan penyempurnaan. Yaitu di masa sahabat selama kurang lebih 90 tahun lamanya,
mulai Rasulullah wafat pada tahun 11 H sampai akhir abad I H. Fase
ketiga,
masa kodifikasi (pembukuan) teks-teks hukum dan di masa ini pula masa tersebar
luasnya Imam-Imam ahli ijtihad (ahli hukum) dan di masa ini pula disebut masa
perkembangan legislasi hukum Islam. Masa ini berjalan selama 250 tahun , yaitu
tahun 100 H sampai tahun 350 H.
Fase keempat, masa taqlīd. Di masa inilah merupakan kebalikan masa sebelumnya,
karena kalau masa sebelumnya ahli hukum mampu mencurahkan tenaga dan pikirannya
untuk mendapatkan hukum dari hasil kesimpulan teks-teks al-Qur’an dan Hadīts.
Tapi masa ini, umat Islam hanya mengekor hasil periode sebelumnya, sehingga
masa ini disebut “masa buntu dan beku”. Masa ini dimulai dari pertengahan abad
ke 4 H sampai pada masa yang belum
diketahui batas akhirnya, karena masa sekarang tetap seperti itu. (Khudlāri
Beik,tt, 4)
Muhammad Iqbal,
pemikir asal Pakistan, menengarai ada tiga faktor penyebab pemasungan fungsi
nalar ijtihad itu. Pertama: merebaknya isu penafsiran longgar yang
dikembangkan oleh paham rasionalisme. Kalangan rasionalis dinilai telah
mengundang sikap antipati kelompok pemikir Islam lain dengan melakukan
penafsiran longgar terhadap agama. Tak hanya itu, isu rasionalisasi yang mereka
kembangkan dinilai lepas begitu saja dari konteks sejarah sehingga menimbulkan
perlawanan pihak konservatif. Sebagai dampaknya, para ulama’ saat itu lalu
khawatir wilayah ijtihad dimasuki mereka yang tak cukup memiliki kompetensi
melakukannya. Sebagai langkah preventif, mereka kemudian memberikan kriteria
persyaratan super ketat bagi seorang mujtahid. Kondisi seperti inilah yang
kemudian mengesankan pintu ijtihad sudah ditutup.
Kedua: Asketisisme atau tren hidup bertapa yang
melanda dunia tashawuf menyebabkan suburnya penafsiran eskapisme yang
cenderung mengabaikan dimensi alam nyata. Pada gilirannya, kecenderungan
seperti ini mereduksi diskursus intelektual dan nalar ijtihad. Pra kondisi seperti
ini lalu memunculkan kecenderungan menutup kran berpikir untuk mengembangkan
wacana agama ke arah yang lebih kreatif dan dinamis.
Ketiga:
Pembumihangusan Baghdad, kota seribu satu malam, oleh tentara Mongol dari Asia
Tengah. Tragedi berdarah yang terjadi pada abad ke-13 M ini bukan saja
melumpuhkan pusat kebudayaan Islam tetapi juga berdampak pada melemahnya
kesatuan umat. Lalu untuk merajut kembali kesatuan pandangan umat Islam saat
itu, para juris Islam lebih sreg menutup pintu ijtihad untuk menghindari
munculnya keragaman pendapat. (Fazlur
Rahmān, 1997, 88)
Dari konsep ini, MUI
menjadikan interaksi sosial baik sebagai disiplin ilmu ataupun sebagai realitas
dimasyarakat yang tidak bisa pungkiri sangat mempengaruhi terhadap konstruk Hukum
Islam atau lebih dikenal dengan istilah “Fiqh” di indonesia.
Ø Kilas balik Interaksi Sosial sebagai
pijakan Imam Madzhab Dalam
penetapan Hukum
Islam
Secara
garis besar, suatu interaksi sosial hanya akan mungkin terjadi bila memenuhi
dua syarat, yaitu diantaranya: Pertama, adanya kontak social antara
manusia yang satu dengan yang lainnya ataupun satu kelompok. Hal ini bisa
terjadi bila ada hubungan secara jasmaniah misalnya harus bertemu langsung dan
bersentuhan. Namun sebagai gejala social tidak senantiasa pertemuan itu bisa
dilakukan secara langsung, akan tetapi bisa melalui orang lain, telpon, surat
dan lain sebagainya.
Kedua, terjalinnya
komunikasi yang aktif. Suatu komunikasi bisa terjadi bila seseorang memberikan
tafsiran pada prilaku orang lain yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak
jasmaniah atau sikap dan perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh
orang tersebut.
Al-Qur’an
dan Al-Hadits sebagai sumber hukum islam, tidaklah muncul dengan tiba-tiba dan
tidaklah diturunkan diruang yang hampa tanpa adanya manusia, akan tetapi
keduanya merupakan justifikasi dari kehidupan manusia yang terjadi ketika itu.
Kalau kita mencermati sejarah perkembangan hukum islam,
sejak awal memang kita telah melihat format dialektika dalil-dalil hukum islam
dengan interaksi sosial. Mulai teks-teks Al Quran dan praktek Nabi sampai pada
kebijakan-kebijakan para sahabat dalam mengcover problematik umat islam. Dari
Al-Qur’an misalnya, ayat-ayatnya banyak turun tidak lain adalah
sebagai respon atas realita yang berupa pertanyaan-pertanyaan riil dan
peristiwa-peristiwa kemanusiaan, kebutuhan-kebutuhan dan adanya momentum
bersejarah yang dilakukan oleh umat Nabi.
Hal ini bisa kita lihat melalui penegasan Al-Quran
seperti:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ
لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا
Artinya:“Dan Alqur’an itu telah kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami
menurunkannya bagian demi bagian”. (QS: Al-Isro: 106).
Ayat ini
menjelaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an sebagai ajaran islam adalah merupakan
jawaban dari sebuah pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang homogen, sehingga
tenggang waktu yang dibutuhkan untuk mem-Paripurna ajarannya sangat
membutuhkan waktu yang relatif tidak singkat, bahkan sampai batas waktu 23
tahun. Dus, permasalahan-permasalahan kemanusiaan sampai
sekarangpun masih silih berganti seperti halnya berjalannya masa senantiasa berubah.
Dalam
tradisi penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan metode hermeneutika selalu
terjadi dialog komunikatif yang berimbang antara dunia teks (the world of
text), dunia penulis (the world of author) dan dunia pembaca (the
world of reader). Artinya teks, konteks dan konstektualisasi selalu
berdialektika secara sirkular. Paradiqma hermeneutika selalu melihat teks
secara kritis dan memposisikanya sebagai sesuatu yang harus dibaca secara
produktif, dimana seorang mufassir berangkat dari realistis (Al-Waqiiyah)
untuk mengungkap apa yang ditunjukan oleh teks (dalalah an-nash) masa
lalu untuk kemudian kembali dalam membangun signifikansi. (Mustaqim, 2012:65).
Artinya al-Qur’an
bukanlah baris kata-kata untuk sekedar dibaca, dihafal, dilagukan atau
dijadikan hiasan rumah belaka, tetapi Al-Qur’an harus dipelajari, dihayati dan
diamalkan serta dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
menyesuaikan perubahan zaman yang ada. Karena bagaimanapun, arti dari Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup tidak terletak hanya ketika dibaca dan dihafalkan, justru
ia bermakna ketika Al-Qur’an dijadikan media dan acuan perbuatan manusia.
Sehingga Al-Qur’an mampu menampung dan memecahkan masalah-masalah baru yang
terjadi di Indonesia. Disinilah peran ijtihad sangat diperlukan untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Al-Qur’an dan memberikan kesempatan untuk berfikir
dan menimbang. Bukan hanya taklid kepada salah satu imam madzhab yang terkadang
menjadikan umat islam statis dan
stagnan, tidak lagi komunikatif dan inspiratif bagi ummat islam.
Secara
generik, “Islam” sebagai manifestasi dari Al-Qur’an merupakan agama yang
membawa misi pembebasan dan keselamatan. Islam hadir dimuka bumi ini dalam
rangka memberikan moralitas baru bagi terjadinya interaksi sosial, begitupun Al-Qur’an
sebagai sumber moral dikarenakan karakternya yang metafisik dan humanis serta
bercorak Vertikal namun juga menekankan aspek Horizontal.
Menurut
Muhammad Imarah, ( tt: 45), menyebutkan bahwa “Agama Islam merupakan
ajaran yang bersumber dari sang pencipta dan berorientasi kemanusiaan ( الاسلام ا لهى المصدروانسانيات الموضوع) berawal dari
pendapat ini, islam tidak hanya menjadi agama yang membawa wahyu ketuhanan, melainkan
juga sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini
tidak hanya terjadi ketika diturunkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, namun lebih dari
itu produk-produk hukum yang telah tertorehkan dalam Madzahibul Arba’ah
senantiasa berorientasi kepada peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang melingkupi
imam-imam madzhab tersebut.
Ada hal menarik yang disampaikan oleh al-Sya’rāniy dalam
kitabnya Mizan Al-Qubro, Menurutnya, hukum haruslah diposisikan
(diterapkan) kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Kadar
kemampuan seseorang oleh al-Sya’rāniy dapat diukur dengan berbagai hal.
Pertama, diantara diukur dengan ketaqwaan. Hal ini dapat dilacak
dalam kitabnya bagaimana beliau mengarahkan suatu hukum sesuai dengan kadar
orang wara’ tersebut, seperti hukum menduga-duga buah yang akan
dizakatkan. Menurut pendapat Imam yang tiga adalah sunnah, jika nampak kebaikan
buahnya karena membuat senang bagi pemilik dan fakir miskin dan karena
memurnikan tanggung jawabnya. Lain
halnya menurut Imam Abū Hanīfah, mengira-ngira adalah tidak sah. Dari dua
prodak hukum ini terdapat hukum yang memberatkan, yaitu pendapat yang
difatwakan oleh Imam Abū Hanīfah. Pendapat ini diperuntukkan untuk kalangan khās, yaitu orang wara’.
Kedua, Kadar
kemampuan juga diukur dari segi kekayaan. Dalam hal ini al-Sya’rāniy memberi
contoh kasus Perbedaan ulama' tentang barang yang bisa di jadikan alat untuk
membayar zakat Menurut, Imam yang tiga ( Imam al-Syāfi'iy, Imam Mālik, Imam Ahmad), ada lima macam yang
bisa di jadikan alat untuk menunaikan zakat fitrah antara lain: gandum bur,
gandum syair, kurma, zabib dan keju dengan catatan menjadi makanan pokok.
Sedangkan menurut Imam Abū Hanīfah, tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah
dengan keju, namun kalau memakai harga dari keju tersebut hukumnya boleh. Yang
perlu digaris bawahi disini adalah pendapat Imam Abū Hanīfah yang membolehkan
zakat dengan harga barang. Hukum ini menurut komentar al-Sya’rāniy
layak baik untuk kalangan orang kaya.
Ketiga, kadar kemampuan seseorang bisa diukur dengan derajat
oleh Allah, yakni Nabi. Dalam hal ini mencontohkan dalam kasus hukum zakat
fitrah. Menurut kesepakatan ulama’ yang empat, hukum zakat fitrah adalah wājib.
Lain
halnya menurut Imam al-'Asham dan lainnya adalah sunnah. Dari prodak
hukum oleh al-Sya’rāniy diarahkan sesuai dengan tempatnya. Artinya hukum
kesunnahan mengeluarkan zakat fitrah untuk Nabi.
Keempat, kadar kemampuan
seseorang dapat diukur dengan sifat
bijak sebab kedalaman ilmunya. Dalam hal ini al-Sya’rāniy memberi contoh dalam
kasus perselisihan pendapat dikalangan ulama' tentang pemberian zakat kepada
orang yang mampu bekerja. Menurut pendapat Imam Abū Hanīfah dan Imam Mālik, boleh
memberikan zakat kepada yang mampu bekerja. Namun, menurut Imam al-Syāfi'iy dan
Imam Ahmad, tidak boleh memberikan zakat kepeda orang yang mampu bekerja.
al-Sya’rāniy memberi hukum yang kedua bagi kalangan orang yang bijak sebab
kedalaman ilmunya.
Dari empat ukuran sekaligus contohnya, dapatlah diambil
benang merah, bahwa penerapan hukum Islam menurut Imam
al-Sya’rāniy dapatlah diukur dengan dua hal. Pertama, ukuran secara
abstrak. Seperti nilai keimanan, kewara’an, dan lain-lain. Kedua, ukuran
secara kongkrit. Seperti, kekayaan, keilmuan dan lain-lain. Al-hasil, Penentuan khās
dan 'awām
ini berdampak pada penerapan hukum pada seorang mukallaf. Apa
yang ditawarkan oleh al-Sya’rāniy, sesungguhnya adalah sama dengan apa yang
telah ditawarkan oleh para ahli dalam masalah sosiologi hukum. Menurut mereka,
hukum memang bersifat universal tidak pandang bulu. Namun hukum ada yang
bersifat individualistik, itu pun ada tujuan-tujuan tertentu, yakni
kemaslahatan umat. (Alvin S. Jonhson,158)
Ø Dasar MUI dalam Penerapan Hukum Islam Di Indonesia
Di
satu sisi, indonesia adalah satu negara yang secara konstitusional tidak
menyatakan diri sebagai negara islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut
agama islam. Sebagian hukum islam telah berlaku di indonesia sejak zaman
kerajaan-kerajaan islam, cerebon merupakan salah satu buktinya. Demikian pula
kerajaan sultan aceh, kerajaan pasai dan lain sebagainya. Dan secara
sosiologis, hukum islam dapat dikatakan telah berlaku di indonesia. Sebab,
sebagian hukum islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak zaman
kerajaan-kerajaan tersebut hingga zaman kemerdekaan. Dan secara yuridis,
sebagian hukum islam telah dilaksanakan. Namun penerapan prinsipnya
berangsur-angsur dalam pengundangan hukum islam di indonesia. (Supriyadi, 2010:
291-293).
Disisi yang lain, indonesia merupakan salah
satu negara yang situasi dan kondisinya sesuai dengan pemikiran salah satu imam
yang empat, yaitu Imam Syafi’i --menurut Wahbah Zuhaili , (1983: 36),
menyampaikan dalam kitabnya “Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu”: Imam
Syafi’i merupakan seorang Mujtahid Mustaqil Muthlaq yang paham Bidang Fiqh dan Hadits.
Beliaulah yang mampu menggabungkan Fiqh Ulama Hijaz (sekarang wilayah Mekkah
dan Madinah) dan Fiqh Ulama Iraq, dan ia termasuk orang yang paling mengerti
tentang Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, semua Ulama Ahli Fiqh, Ushul,
Hadits, Ahli Bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam Syafi’i
adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik
serta mempunyai kedudukan yang mulya -- yang secara mayoritas menganut pendapatnya, karena
berawal dari kehadiran Islam di Asia Tenggara berkat interaksi mereka dengan
pendatang ---sebagai pedagang maupun sebagai
pendakwah---, dalam hal ibadah ataupun muamalah, madzhab syafiiyah selalu
menjadi pedoman sehari-hari. Disamping itu, disatu
sisi masyarakatnya lebih cendrung berfikir rasionalis dan disisi yang lain
bertindak tradisionalis, sehingga hukum yang ada di indonesia senantiasa mengambil
pendapat-pendapat Imam Syafi’i atau Syafiiyah dari pada konsep-konsep imam yang
lain.( Muhyiddin, 2010: 57). Kenyataan mengenai terlalu dominannya
Madzhab Syafi’i memang ada. Pendapat para Ulama’ Syafi’iyah masih cukup dominan
dalam Bahtsul Masa’il NU --yang merupakan kegiatan (forum) diskusi
keagamaan untuk merespon dan memberikan solusi terhadap problematika actual
yang muncul dalam kehidupan, baik masalah ibadah, muamalah, munakahah dan
jinayat.
Alm.KH. Sahal
Mahfudz yang menjabat sebagai ketua Umum
MUI sejak tahun 2000 sampai dengan 2014 menjelaskan bahwa dominasi Syafi’i
bukan berarti ulama’ NU menolak pendapat ulama’ di luar Syafi’yah. Hal itu
dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai cukup referensi lain di
luar Madzhab Syafi’i semisal kitab Al-Mudawanah (Imam Malik), Kanz
Al-Wushul (Bazdawi Al-Hanafi), Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (Ibn
Hazm), Raudat Al-Nazhir Fi Jannat Al-Munazhir (Ibnu Qudamah Al-Hanbali)
dan lain-lain. (Miri, 2005: xxxIV).
Ada banyak
contoh kasus penetapan hukum islam oleh MUI yang nyata-nyata sangat
bersinggungan dengan interaksi sosial. Salah satunya adalah penetapan hukum
makruh dan haram merokok, hal ini berdasarkan sebuah argumentasi bahwa
masyarakat mengakui bahwa industri rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan
sosial yang cukup besar. Industri rokok juga telah memberikan pendapatan yang
cukup besar bagi negara. Bahkan, tembakau sebagai bahan baku rokok telah
menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian petani. Namun di sisi yang lain, merokok
dapat membahayakan kesehatan (Dlarar) serta berpotensi terjadinya
pemborosan (Israf) dan merupakan tindakan Tabdzir. Disisi yang
lain, hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh Al-Qur'an dan
Hadis Nabi, begitu juga hukum merokok masih diperselisihkan oleh fuqaha'.
Dengan
pertimbangan diatas, Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia sepakat adanya
perbedaan pandangan mengenai hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram (Khilaf
Ma Baiyna Al-Makruh Wa Al-Haram). Hukum haram diberikan jika dilakukan di tempat-tenpat
umum apalagi dilakukan oleh anak-anak dan oleh wanita hamil. Sebagai folluw up dari
kebijakan hukum makruh dan haram tersebut, MUI juga mengeluarkan rekomendasi
sehubungan dengan adanya banyak madlarrat yang ditimbulkan dari aktifitas
merokok, diantaranya adalah DPR diminta segera membuat undang-undang larangan
merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil, Pemerintah
sebagai leading sektor baik pusat maupun daerah diminta membuat regulasi
tentang larangan merokok di tempat umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil
dan menindak pelaku pelanggaran terhadap aturan larangan merokok di tempat
umum, bagi anak-anak, dan bagi wanita hamil.
Contoh lain
adalah penetapan MUI terhadap terjadinya jatuh talak 1 bagi seorang suami yang
menyebutkan kata talak 3 kali sekaligus dengan beranggapan bahwa naskah fiqh
klasik yang menyatakan jatuh 3 dan bahkan ada juga yang berpendapat jatuh 1
sebagaimana pendapat Thawus – Ibn Taimiyah, dan beberapa Fuqaha Zhahiriyah.
Perbedaan pendapat itu merupakan pikiran fuqaha dan bukan hukum doqma dari
Al-Quran ataupun hadits, apalagi berdasarkan adanya UU No.1 tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa talak tiga sekaligus seharusnya tidak perlu terjadi dan di
point berikutnya penjatuhan talak suami hanya bisa dilakukan di depan Hakim
Pengadilan Agama, oleh karena itu, hakim yang menyatakan keabsahan penjatuhan
talak, sehingga belum sah jika diucapkan di rumah. Namun demikian, MUI juga menghimbau agar
Pengadilan Agama mencegah terjadinya talak 3 dan menganjurkan kepada masyarakat
untuk tidak sembarangan mengucapkan kata talak.
Sebagai ilustrasi, terkait dengan masa iddah perempuan
yang diceraikan oleh suaminya dengan mempertimbangkan hasil kemajuan
tehnologi kedokteran. MUI
menetapkan Masa iddah seseorang
tidak lagi 4 bulan 10 hari atau 3 kali sucian atau bahkan tidak
harus menunggu beberapa hari lamanya, tetapi cukup diselesaikan oleh seorang
wanita dalam tempo sekian jam, apabila ia telah mendapatkan surat keterangan
dari dokter ahli kandungan bahwa ia tidak hamil setelah perceraiannya, maka
segera ia dapat menikah.
Kemajuan ilmu dan tehnologi inilah yang sekarang
menantang kemapanan hukum itu sendiri misalnya adanya bayi tabung, penitipan
benih (janin yang telah dibuahi) pada perempuan yang menyewakan rahimnya, bayi
hasil kloning atau akad via alat tekhnologi, sebagian menjadi sebab munculnya persoalan
kewarisan. Cepat atau lambat karena derasnya informasi, maka untuk masa depan
hukum tidak terkecuali hukum Islam yang masih menunggu hasil fatwa MUI harus mampu memberikan jawaban yang
bersifat komprehensif. Rujukan
rujukan jawaban kepada kitab kitab klasik, barangkali akan semakin sulit
didapat dan hal ini sesuatu yang harus
dapat dijawab dengan metode istimbath sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dalam Hukum Islam untuk di terapkan di indonesia. (Abdul Wasik, 2015, 45)
Dari contoh
diatas, disatu sisi MUI menggunakan dalil naqli yang bersifat tekstual sebagai
dasar pengambilan hukum dan disisi yang lain mempertimbangkan kontekstual
situasi dan kondisi yang ada sebagai pijakan penetapan hukumnya.
Ø Metode Ijtihad MUI dalam
Penetapan Hukum islam
Istilah Fiqh di Indonesia agaknya ganjil didengar, sama dengan Fiqh
Malaysia, Fiqh Saudi, Fiqh Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Fiqh itu
satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Memang
betul Fiqh itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain
memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), Fiqh juga
memiliki acuan maqāṣīd
al-syarīʻah (tujuan
syariat). Maqāṣīd
al-syarīʻah sendiri
digali dari nash-nash syariah melalui berbagai istiqrāꞌ (penelitian) dan selalu mengacu kepada kaida Fiqh:
لا ينكر تغير الا حكام بتغير الا زمنة والا مكنة
Artinya:
“Tidak bisa dipungkiri berubahnya suatu status hukum adalah disebabkan
dengan berubahnya situasi dan kondisi yang ada”. (Hariri, tt: 115)
Ulama
kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Di antaranya adalah
melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang
digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan
hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh
kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai,
yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang
dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini sebagaimana yang di katakan oleh
Wahab Khollaf ( tt: 200 ), adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di
bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yang menjadi kebutuhan manusia
pada umumnya, yaitu Hifẓ Al-Dīn,
Hifẓ Al-ʻAql, Hifẓ Al-Nafs,
Hifẓ Al-Māl, Dan Hifẓ al-ʻIrḍ/ Nasl. Sehingga tidak menutup kemungkinan, dalam satu
kasus / masalah dalam fiqh, senantiasa terdapat jawaban yang berbeda diantara
imam madzhab yang empat, karena disebabkan adanya perbedaan lokasi dan kondisi
yang melingkupinya, serta mempunyai maslahah yang berbeda pula.
Abdul
Wahab Khollaf (tt: 84-85) juga menjelaskan tentang pembagian maslahat kepada dua bagian. Pertama,
Maslahat MuʻTabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi
dari syariat melalui salah satu nashnya dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk
merealisasikannya. Seperti diwajibkannya hukuman qishosh untuk menjaga
kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khomer untuk memelihara akal,
ancaman hukuman jilid dan cambuk bagi zina untuk memelihara kehormatan dan
harga diri manusia, serta atas hukuman potong tangan bagi pencuri untuk menjaga
hak-hak dan harta orang lain. Kedua, Maslahat Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus
dan tidak ada ketegasan hukumnya, baik yang mengapreasiasi maupun yang
mengabaikannya, serta tidak ada bandingannya dalam Nash Al-Quran ataupun Hadits
untuk dapat dianalogikannya. seperti pencatatan akad nikah, untuk melegalkan
sebuah akad pernikahan dalam aturan pemerintah, dan terjadinya transaksi jual
beli dengan pencatatan hitam diatas putih untuk semata-mata sebagai bukti
pemindahan kepemilikan harta orang lain.
Maqāṣīd
al-syarīʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam
dua hal:
1
Dalam memahami nuṣūṣ al-syarīah,
nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan maqāṣīd al-syarīʻah akan melahirkan
hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual (antara konsep dan realitas).
2
Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan
nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alquran dan Sunnah)
merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di
antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyās, Istiḥsān, Sadd al-żarīʻah, ʻurf, dan maṣlaḥah mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyās
ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang
tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum)
yang sama. Istiḥsān
ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan
hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai. Sadd al-żarīʻah
ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan kepada
mafsadat. ʻUrf adalah tradisi
atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun
komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan
dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang shahih seperti bertentangan dengan cita-cita
kemaslahatan sebagai tujuan (maqāṣid) syariat. Sebagian
ulama mendasarkan posisi ʻurf
sebagai hujjah syarʻiyyah
pada fiman Allah dalam QS: al-Aʻrāf:
199:
خذ العفو
وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Artinya:
“Jadilah engkau
pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-Aʻrāf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadits riwayat Ibn Masʻūd yang menyampaikan:
ما
رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسنٌ
Artinya:
“Apa yang oleh
kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”
(Shohih Bukhari, tt: 256)
Ibrahim Moh Mahmud
Hariri (tt: 113) dalam Kitab Al-Madkhol mengungkapkan: التعيين بالعرف كالتعيين بالنص / الثابت
بالعرف كاالثابت بالنص “ Yang ditetapkan
oleh ʻurf sama dengan yang
ditetapkan oleh nash.” Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah
budaya, karena yang pertama bersifat ilahiah sementara yang kedua adalah
insaniah. Akan tetapi,
berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia
bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Sehingga status budaya yang tercipta dari manusia, eksistensinya sama dengan
sebuah ketetapan hukum dalam Al-Qur’an.
Selain nuṣūṣ al-syarīʻah dan maqāṣīd al-syarīʻah, Islam juga
memiliki mabādiꞌ
al-syarīʻah (prinsip-prinsip
syariat). Salah satu
prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang
paling menonjol adalah al-wasaṭiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt
dalam firman-Nya,
وَكَذلِك
جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ
الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا
Artinya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”.(QS. Al-Baqarah: 143)
Wasaṭiyyah
yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Moderasi”
memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah Al-Wāqiʻiyyah
(realistis). Realistis di sini tidak berarti Taslīm atau menyerah pada
keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang
ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal. Hal ini sesuai dengan
Firman-NYA
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar:ra’d: 11)
Dalam kaidah Fiqh, (As-Suyuthi,
tt: 59) banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai acuan dasar untuk penerapan prinsip
wāqiʻiyyah dalam kehidupan
sehari-hari, di antaranya: الضرر يزال
Artinya
kemudaratan haruslah dihilangkan, اذا ضاق
الامر اتسع واذا اتسع ضاق Artinya Apabila suatu perkara menjadi sempit / tidak ada kemampuan maka hukumnya meluas, dan apabila suatu perkara menjadi meluas /
kemudahan
atau kemampuan maka hukumnya
menjadi menyempit. درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح (Menolak Mafsadat Didahulukan daripada Mengambil Manfaat).
Dan kaidah-kaidah fiqh lainnya.
Ada beberapa kegiatan
dakwah Wali Songo di indonesia ini yang telah mencerminkan beberapa kaidah di
atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia
berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka
mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara
aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah
tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu -selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati
masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing
masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia
sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti
“Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih
menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga mengubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy
paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan
Kudus mengikat masyarakatnya.
Cerita diatas,
mengindikasikan kepada kita semua bahwa pada dasarnya ajaran islam /
pengejewantahan fiqh pada masyarakat bukanlah sebuah doktrin dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits semata, melainkan konvergensi dari teks dan konteks masyarakat
sekitarnya. Walaupun dalam pengaplikasiannya ada perbedaan prinsip antara konsep
Fiqh ibadah (Ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu
kaidah Fiqh ibadat mengatakan “الله لا يعبد
الا بما شرع”/Allah
tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya
kaidah Fiqh muamalat mengatakan, “المعاملات
طلق حتى يعلم المنع”/Muamalat
itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Karenanya yang
diperlukan saat ini adalah upaya menguak kembali hakekat doktrin keagamaan,
terutama mengembalikan syariah pada maqoshid al-syariah, mendudukkan kembali
fiqh pada ushul fiqh, sehingga syariah dapat menegoisasikan visinya dengan
konteks kekinian dan kemodernan, bukan hanya itu, syariat diharapkan dapat
memotret kembali konteks, ruang dan
zamannya sebagaimana masa turunnya Al-qur’an (Asbab An-Nuzul) dan hadirnya
Hadits Nabi Muhammad SAW (Asbab Al-Wurud). Hal ini sebenarnya sudah
pernah diungkap pada masanya Abu Ishaq Al-Syathiby (790 H) dengan karya
momentalnya Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariah.
Paparan di atas
dikemukakan untuk menjelaskan bahwa syariah atau fiqh tidak hanya dipahami
sebagai kebenaran kognitif yang tidak bisa ditawar-tawar, ditafsir dan bahkan
diperdebatkan walaupun sudah diketahui ruang dan waktunya sangatlah berbeda,
namun syariah dan fiqh haruslah di pahami sebagai bentuk kebenaran praktis
dengan melakukan upaya persenyawaan dengan problem-problem kemanusiaan yang
senantiasa berkembang dan semakin menantang. Meminjam istilahnya ali harb dalam
kitabnya Naqd Al-Haqiqah “ Al-Haqiqah Fi Adzhan Ila Al-Haqiqah Al-A’yan”.
(Ali Harb, tt: 29)
Fiqh yang diajarkan
di indonesia ialah konsep
ulama di bumi Nusantara
sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya
setempat.
Satu lagi contoh penting dari berbagai
ketetapan hukum yang diperoleh dari MUI adalah para ulama indonesia memahami dan menerapkan ajaran fiqh
pada ideolgi Pancasila.
Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati
untuk menjadi dasar negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin
keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah ajaran
fiqh secara
eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara
substansial pancasila adalah ajaran fundamental Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain
Ketuhanan
Yang Maha Esa mencerminkan
tauhid dalam akidah keislaman dan dalam fiqh dikenal dengan fiqh
ibadah, sila
kedua dan ketiga kemanusiaan yang adil dan beradap serta persatuan indonesia
senada dengan konsep fiqh mualamah,
sila ke empat mencermikan fiqh siyasah dan terakhir keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia merupakan bagian dari fiqh jinayat.
Seandainya kaum muslimin ngotot dengan fiqh
secara formal dan
kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini
negara Indonesia belum lahir dan fiqh “ islam” belum bisa
diaktualkan di negeri tercinta ini.
Yang menjadi pekerjaan rumah MUI
di indonesia ini adalah
bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus
dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Fiqh
Nusantara ke
seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak
berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasād) tapi
tidak kunjung melakukan perbaikan (ṣalāḥ). Dengan demikian, membaca Al-Qur’an
sekaligus mempraktekkan dalam kehidupan dengan menyesuaikan dengan
budaya-budaya lokal. Itulah konsep atau metode MUI dalam menetapkan hukum Fiqh
Indonesia.
Sebagai tawaran MUI
dalam keberlanjutan Fiqh di Indonesia adalah memasukkan unsur
unsur Islam ke dalam hukum nasional yang berpotensi cukup luas dan beragam. Hiruk pikuk
keinginan pemberlakukan hukum Islam di Indonesia lebih mempunyai daya dukung
yang berarti bila hal itu dimulai dengan kesadaran dan keinginan yang keras
dari masyarakat sendiri. Banyak bidang kehidupan sosial ekonomi yang sekarang
mulai secara rational dan sadar dikerjakan oleh masyarakat sendiri secara
Islami. Dimulai dengan berbagai sistem perbankan, seperti bank syariah, lembaga
zakat yang terorganisasi secara rapi, bentuk sodaqoh infak untuk kaum duafa sebagai dasar pengentasan kemiskinan
sangatlah berpeluang. Demikian juga masalah asuransi jiwa, asuransi haji dan lain sebagainya yang merupakan
ladang untuk menghormati Hak Asasi manusia. Hal ini
menunjukkan ruang gerak yang semakin luas dan diterima oleh masyarakat. Jikapun
kemudian diperlukan pengaturan yang lebih formal, maka hal itu hanyalah
merupakan penguatan daripada apa yang telah dilakukan oleh masyarakat secara
sukarela. Dalam bahasa filosofisnya, maka hukum yang demikian, bukan merupakan
“command of the souvereign” atau
perintah penguasa akan tetapi lebih merupakan ketentuan hukum yang
“accepted by (the majority of ) the people” yaitu hukum yang bisa diterima
oleh mayoritas masyarakat.
Meskipun ruang dan
peluang untuk berlakunya hukum Islam semakin lebar, namun tetap bergantung kepada
kemampuan hukum Islam “Pemikir
Islam“ itu sendiri untuk selalu dapat menyesuaikan dengan
perkembangan zaman. Artinya dalam ranah interaksi sosial, budaya, ekonomi, politik, tehnologi, dan persoalan umat lainnya, apakah Hukum
Islam secara nyata dapat menjawab tantangan tersebut. Seberapa jauh Hukum Islam
mampu memanfaatkan kemajuan tehnologi tanpa meninggalkan roh jiwa Hukum Islam
itu sendiri. Inilah
yang menjadi garapan pemberlakuan hukum islam yang diterapkan oleh MUI dalam
mengeluarkan fatwanya.
Dalam perkembangannya, penerapan fatwa MUI terhadap hukum
islam di indonesia telah banyak memberikan kontribusi dan menjadi pedoman undang-undang
formal dalam bentuk “ Kompilasi Hukum Islam” sesuai dengan Intruksi
Presiden No: 1 tahun 1991 disebutkan bahwa hukum materiil yang selama ini
berlaku dilingkungan peradilan agama adalah hukum islam yang pada garis
besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum
kewakafan. Hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum
tersebut diatas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya ber-Madzhab
Syafi’i. (Inpres RI, Kompilasi Hukum Islam, 2001, 108).
Namun demikian, bukan berarti persoalan hukum islam di
indonesia sudah final dan purna, tapi masih menyisakan problem yang secara
tegas butuh kajian dan penelitian dari pembaharu islam di indonesia, terutama
dalam persoalan tindak kriminal, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan lain
sebagainya.
Ø Akhiran
Hukum
causalitas yang menyebabkan terjadinya suatu produk hukum islam sangatlah
terkait dengan adanya peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada manusia. Begitupun, suatu hukum yang berdasarkan fatwa MUI senantiasa berdasarkan akan
dua hal yaitu tekstual dan kontekstual. MUI sebagai wadah ulama, zuama dan
cendikiawan muslim, senantiasa tetap berpegang teguh kepada teks-teks Al-Quran
dan Al-Hadits, namun tidak pernah melupakan bahwa teks-teks itu diturunkan
senantiasa beradaptasi dan melakukan interaksi social dengan masyarakat sekitar,
sehingga dalam penerapannya senantiasa disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang ada dimana objek hukum itu berada, Begitu juga ketetapan tersebut tidaklah bersifat
paten dalam aplikasinya, namun ia akan bersifat dinamis dan
humanis dengan
disesuaikan terhadap perubahan-perubahan interaksi sosial yang
melingkupinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wasik,
2015, Fiqh Keluarga: Antara Konsep Dan Realitas, Yogyakarta:
Deepublish.
Abdullah
As-Samarqondi, Abu Muhammad. tt. Sunan Al-Darimi, Beirut: Dar
Al-Kuktub Al-Alamiyah.
Abdusshomad,
Muhyiddin. 2010. Fiqh Tradisionalis, cet VIII, Malang: Pustaka
Bayan.
al-Ghozali, Muhammad
ibn Muhammad, Ihya' Ulum al-Din, jilid I, Maktabah Istiqomah.
Asy-Suyuthi,
Imam Jalaluddin. tt. Al-Asybah Wa An-Nadhoir, Surabaya:
Al-Hidayah.
Azra,
Azyumardi. 2001. Insklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Harb, Ali.
tt. Naqd Al-Haqiqah, Al-Markaz Al-Tsaqofy Al-Araby: Beirut.
Hariri,
Ibrahim Moch. Mahmud. tt. “Al-Madkhol Ila Al-Qowaid Al-Fiqhiyah
Al-Qulliyah” .‘Iman: Dar Imar.
Imarah, Muhammad. tt. Hal Al-Islam Huwa Al-Hall: Kaifa Wa
Limadza, Dar El-Shorouk: Kairo.
Khollaf, Abdul Wahab. tt. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Cet VIII,.
Cairo: Maktabah Al-Da’wah Al-Islamiyah.
Miri, Djamaluddin. 2005. Ahkamul
Fuqohah: Solusi Problematika Actual Hokum Islam,
Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyar.
Mustaqim,
Ali. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis.
Muthahhari, Murtadho. tt, Mabda’
Al-Ijtihad Fi Al-Islam: Cairo, Dar Al-Fikr Al-Arabi.
Rahman, Fazlur, 1997, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam,
Rajawali Pres,.
Soekanto,
Soerjono. 2003. Sosiologi: Suatu Pengantar,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Supriyadi,
Dedi. 2010. Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab
Sampai Indonesia), cet II, Bandung: Pustaka Setia.
Zahro, Abu, Tarikh al- Madzahib al-Islami, al-Madani, Mesir, tt.
Zuhaili,
Wahbah. tt. Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz I, Suria: Dar
Al-Fikr.
sippp .... mantap pak. mari terus berkarya dan memberikan manfaat pada orang lain...
BalasHapusinsyallah pak ini ilmu Nurun pak....kwkwkwkkw
Hapus