PUASA DAN PERUBAHAN KARAKTER MANUSIA
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah,
karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
(QS. Al-Mâ‘idah: 8)
Sederhana tapi bermakna. Inilah
kesimpulan sementara dari kami melihat tayangan televisi dengan Gramatikal pelawak
kondang yang diperankan oleh 4 tokoh sebagai pemainnya. Pertama, sosok pejabat
sebagai perwakilan dari pemerintah, dengan angkuh dan sombongnya dengan
menggunakan dasi di dadanya, dia berkata: akulah pejabat….!!!! Ia merasa segala
kebijakan yang ditentukannya semata-mata karena kepinteran, kepandaian dan
kesuksesannya, walaupun disisi lain tidak sedikit masyarakat yang menderita
karena ulahnya. Kedua, seorang pemuda cerdas dan kritis terhadap pemerintah. Ia
banyak mengkritisinya karena dianggap kebijakan pemerintah tidak berpihak
kepada masyarakat jelata tapi justru kebalikannya selalu memprioritaskan
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemeran ketiga, seorang pengamen. Ia
berjalan dari satu pintu kepintu lainnya, mengamen kepada orang miskin sampai
yang kaya, masyarakat kecil sampai pemerintah yang berkuasa, Namun yang
diberikan mereka-mereka tidak sebesar jabatannya dan bahkan tidak sedikit pula
pemerintah yang menyembunyikan tanganya. Sehingga dengan lantang pengamen
tersebut menjerit “PELIT KAU”. Keempat. orang tua yang buta, hidupnya selalu
ditemani dengan tongkat tua sebagai penunjuk jalan kemana ia melangkah kakinya.
Si kakek ini seringkali mendengar keluhan-keluhan rakyat baik melalui media
atau panca Indera lainnya. ia sering mendengar rakyat miskin menjerit karena
karena kekurangan sandang pangannya, mendengar berita pemerintah yang sedang berbicara
anggaran, akan memberikan bantuan kepada yang berhak menerimanya akibat wabah
penyebaran covid 19 tahun ini dan bahkan ia mendengar ada juga keluhan dari
seorang punggawa besar yang mengeluhkan tentang menipisnya anggaran. Sementara si
kakek tua dan buta itu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya menggerutu “
Apakah Agama Sudah Tinggal Nama atau sudah meninggal…?, apakah pemeluknya sudah
tidak mengenal Allah sebagai tuhannya ”.
Makna dibalik puisi Gramatikal ini
adalah secara implisit orang sering menyamakan idealisme dan realitas. Hal ini
terlihat dari kenyataan kaum agamawan yang cenderung apologetik menghadapi
kasus-kasus kekerasan yang melanda Indonesia akhir-akhir ini. Pelakunya bukan
hanya masyarakat awam tapi sampai kelompok cendikiawan. Bukan hanya dari
seorang pembajak tanah tapi justru muncul dari pemerintah. Padahal mereka
mengatakan bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian.
Sementara konflik kekerasan atau pembunuhan adalah akibat ulah oknum-oknum yang
mengatasnamakan agama untuk kepentingan individu ataupun kelompok. Bahkan
sering orang menuduh aspek politik dan ideologi telah menodai ajaran agama.
Maka agama diposisikan sedemikian suci dan seakan-akan berada di luar kerangka
kemanusiaan. Padahal agama yang riil adalah yang dihayati oleh pemeluknya yang
mengajarkan hidup sederhana, hidup kebersamaan, penuh dengan kepeduliaan dan
selalu menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan.
lalu apa arti dan tujuan
kehadiran agama?” Jika dikembalikan pada situasi faktual sehari-hari, Pesan
agama yang sebenarnya ditujukan kepada seluruh umat manusia, ternyata hanya
dimonopoli sekelompok orang. Pemeluk suatu agama-atas nama agama
masing-masing-seakan mendapat izin membunuh karakter sesama manusia yang
dicurigai akan mengusik eksistensi komunitas mereka. Sebaliknya, dalam
komunitas agama tertentu terdapat sistem pengukuhan sebagai legitimasi yang
memiliki otoritas pemberi kebenaran (truth) dan keselamatan (salvation)
bagi pemeluknya.
Kewajiban sebagai umat beragama
adalah bagaimana membumikan misi suci agama-agama samawi itu dalam kehidupan
nyata. Pluralisme yang akhir-akhir ini dijadikan kambing hitam terhadap biang
petaka, hendaknya selain dipandang fakta historis-meminjam istilah Nurcholish
Madjid-merupakan fakta teologis, yaitu universalitas pesan agama dan merupakan
satu kesatuan yang utuh bagi semua agama samawi, yang mewarisi Abrahamic
religions.
Dengan majemuknya kehidupan
beragama di negara kita, implementasi teologi pluralisme tampaknya menjadi
suatu keniscayaan. Pengalaman masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad
layak dijadikan contoh sebagai masyarakat yang mampu menjaga toleransi beragama
dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang bisa menghargai
keberadaan ummatnya. Nabi Muhammad multi fungsi yang semuanya bisa
diteladaninya. Masyarakat biasa bisa mencontohnya dari sisi kesederhanaan dan pola
menghormatinya kepada sesama, seorang pedagang bisa mensuriteladani dari aspek
kejujuran dan kegigihannya, sampai seorang pejabat Negara juga bisa mencontoh
dari sikap berani dan pengambilan kebijakannya yang selalu memprioritaskan
kepentingan ummatnya, dan seorang “ agamawan” bisa meniru cara komunikasi dan
berdakwahnya. Apa yang kurang dari sang Rasullulah sebagai pembawa misi agama….?
Melalui agama kita diajarkan
untuk saling bertukar pendapat dan gagasan serta secara tidak langsung
menghormati adanya perbedaan. Dinamika keterbukaan itu juga membuka kebebasan.
Sedangkan logika kebebasan adalah tanggung jawab. Seseorang dikatakan bebas
apabila ia melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki atas pilihannya sendiri,
sehingga orang tersebut secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan yang dilakukannya. Lebih-lebih perbedaan ini memang muncul sejak
agama islam disebarkan dan itu menjadi Rahmatan Lil Alamin.
Sebagai catatan akhir dari
tulisan ini bahwa agama sejatinya tidak melulu disibukkan dengan mengurusi
persoalan ketuhanan, klaim kebenaran atau pemahaman doktrin-doktrin yang hanya
dijadikan slogan simbolik dan sebatas perilaku ritual. Agama harus peduli pada
ketertiban lingkungan, keamanan sosial, kerukunan antar umat beragama dan kasih
sayang sesama manusia. Oleh karena itu, agama hendaknya dikembalikan ke
sumbernya sebagai kerangka nilai hingga diharapkan mampu memberikan kerangka
moral demi terbentuknya moralitas bermasyarakat, seperti nilai-nilai
perdamaian, kebenaran universal, persamaan, persaudaraan dan hubungan yang
harmonis dalam kompleksitas tata kehidupan yang pluralis.
Sedangkan ibadah puasa adalah merupakan
sarana dan momentum untuk lebih memikirkan masyarakat sekitar dan lebih-lebih
bisa menunjukkan pada dunia kalau agama islam mengajarkan kepedulian antar sesama.
Barokallah……

Komentar
Posting Komentar