PUASA; SYAHRUT TARBIYAH (Bagian Keempat) (Pendidikan Puasa Dalam Peningkatan Rohani Manusia)
Hati
laksana matahari yang selalu
menerangi sekaligus merupakan hakikat kehidupan kita. Hati adalah salah
satu bagian terpenting serta mempengaruhi dari tiga hal manusia; Jazad, Nafsu dan Akal manusia. Sebab,
hati yang selalu membawa jasad, hati juga yang membersihkan nafsu dan akal seseorang. Sehingga tak khayal ketika Nabi menyampaikan
bahwa ketika hatinya baik maka baik segala hidupnya dan kebalikannya apabila kotor
maka akan rusak semua unsur tubuhnya. Nabi Muhammad SAW bersabda;
قال - صلى الله عليه وسلم - : (( ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضغةً ، إذا صَلحَتْ صَلَحَ الجسدُ
كلُّه ، وإذا فَسَدتْ فسدَ الجَسَدُ كلُّه ، ألا وهي القَلبُ رواهُ البُخاريُّ ومُسلمٌ
Artinya: Ingatlah,
sesungguhnya dalam diri manusia ada segumpal darah, apabila baik maka baik pula
seluruh tubuhnya dan apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, ia adalah
hati. (HR. Bukhori Muslim)
Puasa merupakan ibadah yang syarat dengan persoalan
hati dan tidak ada yang mengetahui isi hati manusia kecuali dirinya dan Allah
SWT. Oleh karena puasa ini merupakan perbuatan hati manusia maka tidak heran
ketika ibadah menahan diri dari makan dan minum serta menahan diri dari hawa
nafsu ini berpengaruh juga terhadap pendidikan ke-Rohani-an manusia.
Pendidikan Rohani yang terkandung dari pelaksanaan Puasa Ramadhan ini merupakan Nilai-nilai pendidikan islam yang sifatnya rahasia dan
tidak bisa dilihat mata, akan tetapi bisa berimplikasi dalam kehidupan
sehari-hari manusia. Pendidikan puasa ditinjau
dari aspek rohani, antara lain:
Pertama, Puasa Mengajarkan Keikhlasan. Inti dalam menjalankan semua amal ibadah ialah keikhlasan.
Orang yang ikhlas akan menjalankan semua yang diperintahkan oleh Allah SWT
dengan sepenuh hati tanpa adanya unsur paksaan. Orang yang ikhlas akan
menjalankan ibadah murni semata-mata karena Allah SWT. Bukan karena ingin
dipuji, disanjung, ataupun ingin dilihat orang. Karena orang yang ikhlas tahu
dan sadar bahwa kegiatan yang
dilakukannya semata-mata lillaahi Ta’ala.
Ada sebuah gambaran Ikhlas dalam beramal dan beribadah
kepada Allah yang tertuang dalam QS. Ikhlas: 1-4.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
كُفُوًا أَحَدٌ (4
Artinya: Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada
pula diperanakkan dan dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (QS. Ikhlas: 1-4)
Ayat QS. Ikhlas: 1-4 yang menjelaskan tentang hakekat
ikhlas tapi lafadz dan kalimat ikhlas tidak pernah tercantum didalamnya. QS.
Ikhlas ini hanya menjelaskan ke-Esa-an Allah, menerangkan tempat tergantung
manusia, dan lain sebagainya. Intinya surat ini segalanya dikembalikan kepada Allah
SWT, inilah hakekat Ikhlas.
Bagaimana dengan keikhlasan seseorang dalam
melaksanakan puasa? Keikhlasan manusia dalam melakukan ibadah ini akan terbentuk
dalam diri manusia baik ketika melakukan ibadah-ibadah Mahdhoh ataupun Ghairu
Mahdhoh. ia akan terlihat ketika mengerjakan sholat taraweh dengan rokaat yang
begitu banyaknya, akan muncul ketika ia memberikan shodaqoh kepada sesamanya,
dan tercermin tatkala menjaga lisannya untuk selalu berkata yang baik-baik dan
menghindari ucapan yang jelek.
Agama islam sangat besar dan tinggi memberikan balasan
bagi orang yang mencapai tingkatan ikhlas dalam melaksanakan ibadahnya. Salah satu
adalah diberikan pahala yang besaroleh Allah SWT. Allah Berfirman dalam QS. An-
Nisa: 145-146
إِنَّ الْمُنافِقِينَ في الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ من النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ
لَهُمْ نَصِيراً إِلَّا الَّذِينَ تابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا
دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ
الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka. Kecuali
orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada
(agama) Allah dan tulus Ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka
mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan
memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS. An- Nisa: 145-146)
Rasulullah SAW
bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ عَبْدٍ
يِخْلِصُ الْعِبَادَةَ لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلَّا ظَهَرَتْ يَنَابِيعُ
الْحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ»
Artinya: Tidak ada seorang hamba yang melakukan
ibadah dengan ikhlas semata- mata karena Allah selam 40 hari kecuali ia akan tumbuh
hikmah dari hatinya melalui lisannya.
Kedua,
Puasa Melatih Kesabaran. Sifat sabar memiliki banyak keutamaan dan bagi setiap Mukmin
membutuhkan sifat tersebut dalam setiap keadaan. Seorang Mukmin yang memiliki
sifat sabar, maka ia tidak akan mudah putus asa, tidak mengeluh dalam
menghadapi berbagai problematika kehidupan yang dihadapinya. Dalam kehidupan
sehari-hari manusia tidak akan pernah terlepas dari ujian dan cobaan. Karena cobaan dan ujian merupakan
cara Allah dalam menguji kesabaran.
Kesabaran dalam melaksanakan ibadah puasa akan
tercermin ketika seseorang menunggu waktu sahur dan buka puasa, ketika menahan
diri untuk tidak berkata dusta atau bahkan bersabar ketika menahan nafsu
berjimak disiang hari bulan puasa atau bersabar dalam kegiatan lainnya.
kesabaran seperti ini tentunya tidaklah mudah dilakukan walaupun gampang
diucapkan. Akan tetapi Allah SWT telah menyiapkan hadiah bagi orang yang
bersabar. Salah satunya adalah akan diberikan pahala melebihi dari apa yang ia
lakukan. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 97
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ
الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah
adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang
yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97)
Sebagian hadist
Nabi menyebutkan:
عَنْ جُرَيٍّ ، أَنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْتَقَيَا ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا : سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، يَقُولُ : الْوُضُوءُ نِصْفُ الإِيمَانِ ،
وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ ،
Artinya: Dari
Sahabat Juray, Sesungguhnya 2 Orang Sahabat Dari Bani Sulaim Bertemu Dan
Sebagian Dari Mereka Mengatakan “Saya Pernah Mendengar Rasulullah Saw Bersabda:
“Wudhu’ Separuh Iman, Dan Berpuasa Merupakan Separuh Ujian Kesabaran.
Dalam hadits
yang lain:
عَنْ الْمُغِيرَةَ ، عَن عَامِر قَالَ : الصَّبْرُ نِصْفُ الإِيمَانِ ،
والشُكْر ثُلثَا الإيمَان
Artinya: Dari
mughairoh dari Amr, nabi Muhammad SAW bersabda: kesabaran adalah separuh iman
dan bersyukur kepada Allah adalah sepertiga iman.
Ketiga, Puasa
Mendidik Sikap Jujur. Jujur dalam Agama
Islam merupakan salah satu ciri orang beriman, dan kebalikannya adalah pendusta
dan pengkhianat adalah tanda-tanda orang munafik. Sebagaimana Nabi bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ
:« آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
وَإِذَا وَعْدَ أَخْلَفَ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Artinya: Dari
Abi Huroiroh Rasulullah SAW bersabda: ada 3 tanda orang munafik, apabila
berkata ia bohong, ketika dipercaya ia berkhianat dan apabila berjanji selalu
mengingkari. (HR. Bukhari)
Dan dalam hadist lain:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ
الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ
عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا ».
Artinya: “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena
dengan kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan
jalan menuju surga. Jika seseorang senantiasa bersikap jujur maka ia akan
dicatat disisi Allah sebagai orang yang jujur, dan berhati-hatilah kalian dari
berbuat dusta karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan
kejahatan itu akan mengantarkan ke neraka, jika seseorang selalu berdusta maka
ia akan dicatat disisi Allah sebagai orang pendusta”. (HR. Bukhari).
Terdapat
tiga dimensi kejujuran di dalam ibadah puasa, yaitu jujur kepada Allah SWT,
jujur kepada sesama manusia, dan jujur kepada diri sendiri. Orang yang sedang
berpuasa akan senantiasa selalu jujur baik dalam perkataan dan perbuatannya,
dalam situasi ramai maupun sepi, bersama-sama maupun sendirian. Orang yang
benar-benar beriman tidak akan berdusta. Karena dia tahu bahwa Allah SWT
mengetahui segala sesuatu baik yang terang maupun yang tersembunyi.
Endingnya, jadikanlah ibadah puasa sebagai bentuk Muhasabah
kepada diri sendiri dan untuk sesamanya. Di sepuluh hari terakhir kita
melaksanakan puasa, tinggal menghitung seberapa jauh kesuksesan mendidik diri
kita sebagai orang yang ikhlas, sabar dan jujur. Ada kesempatan untuk memperbaikinya
tatkala perbuatan hati belum sesuai dengan keinginan agama, begitu juga masih
tersisa waktu untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa kita dengan tujuan agar hati
ini betul-betul bisa mengarahkan Jazad, Nafsu dan Akal kita menuju Khoiru
Ummah (sebaik-baiknya ummatnya Nabi Muhammad SAW) yang mampu melakukan amar
makruf dan nahi mungkar.

Mantaaapbpak.... Barikanah
BalasHapusTrims atas apresiasinya pak doktor....
BalasHapus